Oleh: Dr Sumaryoto Padmodiningrat MM
TRIBUNNEWS.COM - Dinamika dan dialektika bangsa ini ternyata masih saja berkutat pada pertarungan ideologi kanan versus ideologi kiri.
Hal ini berlangsung sejak era Orde Lama, Orde Baru hingga kini Orde Reformasi.
Ideologi kanan berkonotasi pada agama, dalam hal ini Islam yang merupakan agama yang dipeluk mayoritas rakyat Indonesia (82%).
Sedangkan ideologi kiri berkonotasi pada sosialisme dan komunisme. Pancasila kemudian menjadi jalan tengah dan penengah bagi keduanya.
Bila pada Orde Lama ada Partai Komunis Indonesia (PKI) yang "membonceng" Presiden Soekarno di satu pihak, dan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) di bawah komando Sekarmadji Maridjan Kartosuwirjo yang diasosiasikan berafiliasi dengan Partai Masyumi (Majelis Syuro Muslimin Indonesia) di lain pihak.
Baca: Mantan Ketua KPK: RUU HIP Biarlah Menjadi Angan-angan Fraksi yang Mengusulkan
Dan pada Orde Baru yang dipimpin Presiden Soeharto kedua kubu bergerak secara laten di bawah tanah, di Orde Reformasi ini mereka terang-terangan muncul ke permukaan.
Di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), ideologi kanan seperti mendapat angin segar, ideologi kiri termarjinalkan.
Sedangkan di era Presiden Joko Widodo, ideologi kanan tersisih, antara lain terlihat dari dibubarkannya Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) dan sebaliknya ideologi kiri mendapat angin segar.
Sebab itulah, dalam beberapa kesempatan mereka unjuk gigi melalui aksi-aksi unjuk rasa yang mengusung paham Khilafah.
Termasuk dalam demonstrasi besar-besaran pada 2 Desember 2016 atau populer dengan sebutan "212" untuk mendesak Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok, saat itu Gubernur DKI Jakarta, diadili terkait dugaan penistaan agama (Islam).
Ideologi kiri pun tak mau kalah eksis, misalnya dengan bangga mengaku sebagai anak kader PKI. Simbol-simbol yang identik dengan PKI, seperti lambang palu-arit juga banyak bermunculan.
Para penganut ideologi kanan kemudian diasumsikan berafiliasi dengan partai-partai Islam seperti Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dan Partai Amanat Nasional (PAN), sedangkan para penganut ideologi kiri diasumsikan berafiliasi dengan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP).
Di era Jokowi ini kedua kubu tak sungkan-sungkan membuka front. Bahkan kini mereka menemukan ajang pertempuran baru, yakni Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP).
RUU HIP yang diusung PDIP sebagai pelopor pun berhasil masuk Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2020-2024, dan pada 12 Juni 2020 lalu disahkan dalam Rapat Paripurna Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) sebagai usul inisiatif DPR RI.
Semua fraksi setuju, tak satu pun yang menolak.
Belakangan publik heboh. RUU HIP dianggap bermasalah. RUU HIP dianggap akan membangkitkan komumisme.
Tiga organisasi kemasyarakatan (ormas) Islam terbesar di Tanah Air, yakni Nahdatul Ulama (NU), Muhammadiyah dan Majelis Ulama Indonesia (MUI) kemudian menyatakan penolakannya atas RUU kontroversial itu, disusul oleh para purnawirawan TNI/Polri (Tentara Nasional Indonesia/Kepolisian RI) yang diwakili Try Sutrisno, mantan Wakil Presiden RI/Panglima ABRI, dan para mantan pejuang kemerdekaan yang diwakili Ketua Umum Legiun Veteran Republik Indonesia (LVRI) Saiful Sulun.
Fraksi-fraksi di DPR RI pun ikut-ikutan menolak. Mereka balik badan, terutama PKS dan PAN. Yang masih keukeuh mempertahankan RUU HIP adalah PDIP.
Jokowi Lepas Tangan
Seperti galibnya, Presiden Jokowi akhirnya lepas tangan di tengah polemik dan kontroversi RUU HIP.
Ia mengaku tak mau ikut campur soal RUU HIP yang merupakan usul inisiatif DPR RI ini. Jokowi menyerahkan sepenuhnya urusan RUU HIP ini kepada DPR RI.
Ada sejumlah hal yang dipersoalkan dalam RUU HIP yang terdiri atas 10 bab dan 60 pasal ini.
Pertama, tidak dicantumkannya Ketetapan MPRS No XXV Tahun 1966 Tentang Pembubaran Partai Komunis Indonesia (PKI), Pernyataan Sebagai Organisasi Terlarang di Seluruh Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) Bagi PKI dan Larangan Setiap Kegiatan untuk Menyebarkan atau Mengembangkan Paham atau Ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme, dalam konsideran RUU HIP sebagai rujukan.
Kedua, Pasal 7 yang terdiri dari tiga ayat yang menyebut tentang konsep Trisila, Ekasila, dan Ketuhanan yang Berkebudayaan. Ayat (2) pasal ini menyebut ciri pokok Pancasila berupa Trisila, yaitu sosio-nasionalisme, sosio-demokrasi, serta Ketuhanan yang Berkebudayaan.
Lalu, butir selanjutnya menyatakan Trisila terkristaliasi dalam Ekasila, yaitu gotong royong.
Sebenarnya konsep Trisila tersebut pertama kali diucapkan oleh Soekarno di hadapan sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) pada 1 Juni 1945.
Bung Karno mengatakan lima sila dalam Pancasila dapat diperas menjadi tiga (trisila) dan dikumpulkan lagi menjadi satu (ekasila).
Hal ini mengingatkan kita akan proses perumusan dasar negara Pancasila yang berlangsung di BPUPKI, di mana terjadi pertarungan antara penganut ideologi kanan dan penganut ideologi kiri.
Perdebatan pun berlanjut di sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Sidang akhirnya menyepakati, yang dipakai adalah Pancasila seperti yang termaktub di dalam Piagam Djakarta atau Djakarta Charter, dengan menghilangkan 7 kata pada sila ke-1.
Piagam Djakarta adalah sebuah dokumen historis berupa kompromi antara pihak agamais (penulis lebih memilih dengan sebutan kaum kanan) dan pihak nasionalis (penulis lebih memilih dengan sebutan kaum kiri) dalam BPUPKI untuk menjembatani perbedaan pandangan dalam agama dan negara.
Mengapa penulis lebih memilih sebutan kaum kanan dan kaum kiri? Sebab baik kaum agamawan atau penganut ideologi kanan, maupun penganut ideologi kiri, mereka sama-sama nasionalis yang mencintai bangsa dan negaranya.
Adapun Piagam Djakarta merupakan piagam atau naskah yang disusun dalam rapat Panitia Sembilan atau sembilan tokoh Indonesia pada 22 Juni 1945 malam.
Semula sila ke-1 Pancasila berbunyi, "Ketuhanan Yang Maha Esa dengan Kewajiban Menjalankan Syariat Islam Bagi Pemeluk-pemeluknya".
Setelah 7 kata terakhir dihapus akhirnya menjadi "Ketuhanan Yang Maha Esa" seperti yang termaktub di dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 yang disahkan PPKI pada 18 Agustus 1945. Itulah Pancasila yang kita kenal sekarang ini.
Ironi
PDIP selama ini mengklaim Pancasilais, bahkan mungkin yang paling Pancasilais. Akan tetapi kenapa justru menjadi pelopor bagi penyusunan RUU HIP yang justru akan mendegradasi eksistensi Pancasila? Ironis, bukan?
"Memeras" Pancasila menjadi "Trisila" bahkan "Ekasila" justru akan mengeliminasi bahkan menghilangkan Pancasila itu sendiri.
Menghilangkan Pancasila berarti membubarkan NKRI. Lantas, di manakah nasionalisme kita?
Kini, setelah Presiden Jokowi lepas tangan, apakah DPR RI akan tetap melanjutkan atau akan menghentikan pembahasan RUU HIP? Kalau kemudian DPR RI menghentikan, penghentian itu sementara, atau selamanya yang berarti RUU HIP didrop dari Prolegnas 2020-2024?
Setelah ditunda hingga 2024, kemudian pengganti Jokowi nanti dari kaum kanan, tampaknya RUU HIP hanya akan menjadi kenangan. Maka saat ini kaum kiri pasti terus mencari celah agar RUU tersebut disahkan menjadi UU sebelum Jokowi lengser keprabon pada 2024.
Sebaliknya, setelah Jokowi purnabakti nanti, mungkinkah kaum kanan akan bangkit kembali dan mengusung Piagam Djakarta sehingga 7 kata dikembalikan lagi ke dalam sila ke-1 Pancasila, atau bahkan paham Khilafah?
Kita tunggu saja tanggal mainnya. Yang jelas, dinamika dan dialektika kaum kanan versus kaum kiri akan terus mewarnai perjalanan bangsa ini, kali ini Piagam Djakarta versus RUU HIP. Yang penting bagi kaum nasionalis sejati, mempertahankan Pancasila dan NKRI adalah harga mati.
* Dr H Sumaryoto Padmodiningrat MM: Mantan Anggota DPR RI.