Penulis: Arya Sandhiyudha, Ph.D
Pengamat Politik Internasional,
Direktur Eksekutif The İndonesian Democracy Initiative (TİDİ)
TRIBUNNERS - Recep Tayyip Erdoğan, Presiden Turki, mengonversi Hagia Sophia menjadi masjid pada 10 Juli 2020 dan mengucapkan kalimat yang menggelegar, "Ini adalah saat-saat paling kami nantikan, yaitu mendengar suara-suara azan di Hagia Sophia!"
Lebih Kepada Proyeksi Domestik Daripada Internasional
Merespon kebijakan tersebut, sangat menarik disimak misalnya, polling MetroPOLL Araştırma di Turki yang menunjukkan bagaimana sikap warga para pemilih parpol di Turki mengenai kebijakan Hagia Sophia.
Betapa mengejutkan melihat ada 50% pemilih MHP yg setuju mempertahankannya sebagai museum; dan sekitar 21% pemilih CHP menginginkan pengembaliannya sebagai fungsi masjid. Jadi elemen politik domestik Saya duga tetap menjadi pertimbangan utama Erdoğan.
Kebijakan Hagia Sophia dipilih Erdoğan karena memang punya magnet sebagai kekuatan pemersatu dari sekian ragam simbol bersejarah di Turki.
Itulah yang dipilih di tengah kondisi popularitas nya yang melemah di Turki, terutama di dua kota terbesar: Ankara dan Istanbul.
Hagia Sophia seperti "bubuk mesiu" terakhir dan digunakan dalam upaya mempertahankan kekuasaan dan menambah sumber-sumber dukungan baru untuk kemenangan politik.
Tema ini memang terus menjadi pro-kontra setiap kali diangkat sejak 1950-an, dimana ia selalu efektif sebagai perekat kelompok-kelompok Islam-Turki.
Setelah dimuseumkan oleh Mustafa Kemal Ataturk pada 1934, kini telah "ditaklukkan" lagi dan "dikembalikan" ke Islam dan Turki.
Jadi apa yang sebenarnya menjadi tujuan politik dari membuka kata sandi “penaklukan” ini? Kita dapat membacanya dari konteks emosional warga Turki yang berakar dari sejarah kontestasi politik domestik Turki.
Maka, atas dasar itulah Saya tidak terlalu yakin kebijakan Erdoğan terkait Hagia Sophia punya proyeksi terhadap masyarakat Muslim di luar Turki. Artinya, proyeksi hubungan internasional Turki terhadap negara sahabat, kawasan, dan dunia tidak akan banyak berubah.
Oleh karena kebijakan Hagia Sophia ini lebih merupakan orientasi kepada politik domestik Turki. Dalam konteks domestik, isu ini memang telah lama menjadi bagian dari agenda kampanye politik AKP dan perang budaya dengan partai-partai yang mengidentikkan diri dengan haluan Kemalis, baik MHP ataupun CHP.
Kata Sandi Penaklukan
Hagia Sophia sebagai masjid sebenarnya adalah fakta sejarah yang selam ini telah menyatukan seluruh pihak.
Dalam hal ini, Hagia Sophia berada di persimpangan Turkisme dan Islamisme. Dapat dikatakan, Hagia Sophia sejatinya kata sandi yang menggabungkan kedua ideologi ini.
Ini adalah kata sandi "penaklukan", yaitu ideologi Ottoman, yang dimiliki oleh orang Turki dan nasionalis yang relijius.
Salah satu titik balik terpenting dari sejarah ini adalah tahun 1950-an. Pada tahun-tahun itu, kita melihat bahwa nasionalisme Ottoman dipersepsi sebagai hambatan bagi laju nasionalisme Kemalis.
Atas alasan Nasionalisme Kemalis, didirikanlah Museum pada awal 1950-an, setelah beberapa saat ditutup untuk direnovasi. Inilah yang menjadi "luka" bagi sebagian kalangan dan landasan bersama semangat 'penaklukan kembali' ini.
Islam-Turki, Reinterpretasi Memori Sejarah 'Penaklukan'
Sebagai upaya mengubah memori sejarah Tahun Penaklukan dan Penaklukan Istanbul yaitu dengan menjadikannya sesuai reinterpretasi sejarah versi nasionalis Kemalis.
Salah satunya dipimpin oleh sejarawan İsmail Hami Danişmend, yang mendirikan majalah Atsız. Diantaranya, menggelar ragam even peringatan 500 tahun penaklukan pada tahun 1953 bertujuan untuk mengambil alih interpretasi "warisan Ottoman yang agung", yang terkesan dibuang, dilupakan atau ditolak oleh rezim Kemalis.
Ia mengekspresikan banyak klaim dasar nasionalisme Turki dalam karya-karyanya yang berkaitan dengan Sejarah Islam-Turki banyak terbit dalam bahasa Turki-Ottoman-Prancis.
Orang mungkin ingat Adnan Menderes, yang berperan menghapus adzan berbahasa Turki dan mengembalikannya menjadi bahasa Arab. Adnan Menderes, untuk dikenang merupakan negarawan Turki dan pimpinan pertama yang dipilih secara demokratis dalam sejarah Turki.
Mendirikan Partai Demokrat pada tahun 1946, partai oposisi resmi ke-4 di Turki, kemudian menjadi Perdana Menteri Turki antara tahun 1950–1960, dan berakhir di tiang gantung setelah kudeta militer 1960.
Namun, menjadi salah satu dari 3 pimpinan politik Turki yang dibangunkan mausoleum untuk penghormatan, selain Mustafa Kemal Ataturk dan Turgut Özal.
Meskipun Menderes mengembalikan Adzan menjadi bahasa Arab, dia tidak berani mengambil langkah apa pun tentang Hagia Sophia.
Sebab ini berkaitan dengan hubungan internasional pada waktu itu. Menjaga hubungan sedekat mungkin dengan Barat dan Yunani merupakan 'prasyarat' Turki menjadi anggota NATO pada tahun 1952.
Saat itu, tema penaklukan sangat sensitif, terlihat dari konsekuensi penulis puisi untuk Hagia Sophia, seperti Osman Yüksel Serdengeçti, yang akhirnya musti menerima konsekuensi diadili.
Puisinya, yang merupakan subjek persidangan, sebenarnya mewakili emosi dan aspirasi sayap Turki-Islamis untuk Hagia Sophia.
Memang, ketika Atatürk memerintahkan Hagia Sophia untuk diubah menjadi museum pada tahun 1934 juga muncul banyak reaksi.
Akan tetapi, sebagian masyarakat lebih memilih untuk menentang dan mengkritik langkah-langkah yang diambil dalam periode partai tunggal pada 1950-an dan tahun-tahun berikutnya, mencoba melakukan ini tanpa berani menyerang Atatürk secara pribadi, begitupun soal kebijakan Hagia Sophia.
Memori Terdalam yang Tidak Dapat Dicerabut
Diantara upaya mencerabut memori, Hagia Sophia menjadi artefak penting bagi kalangan Islam yang sepertinya tidak berhasil dicerabut dari agenda Turkisasi ala Nasionalis Kemalis yang Islamophobia dan Xenophobia.
Ini disebabkan memori sejarah yang telah mengendap ke alam bawah sadar mayoritas warga Turki.
Dahulunya, Hagia Sophia merupakan Gereja yang dibangun oleh Kaisar Bizantium Justinianos untuk mencerminkan kehebatan dan kekuata dari kekaisaran dan dibuka untuk beribadah pada tahun 537 sebagai pusat agama Kristen Timur selama 9 abad.
Itu adalah gereja pusat dari Kekaisaran Romawi Timur (Bizantium). Kekaisaran Ottoman mengambil alih kehebatan ini dari tahun 1453 atas nama kerajaannya sendiri dan Islam. Selama 481 tahun ke depan, Hagia Sophia digunakan sebagai masjid kekaisaran. Pada periode Ottoman.
Keputusan untuk mengubah Hagia Sophia menjadi museum pada tahun 1934 terdiri dari beberapa tahap hingga 1934.
Transformasi yang paling mendasar adalah dengan transisi ke Republik. Karena hingga saat itu, Hagia Sophia, sebuah masjid kekaisaran Ottoman, sekarang menjadi masjid yang normal.
Dalam proses penghapusan kesultanan pada tahun 1922, transisi ke republik dan penghapusan kekhalifahan pada tahun 1924, makna simbolis dari Hagia Sophia sepenuhnya disingkirkan.
Selain itu, pada tahun 1925, makam sultan, ditutup oleh mahkamah.
Dua tahun sebelum status museum, pada malam Lailatul Qodar pada tanggal 3 Februari 1932, sesuai dengan proses Turkisasi adzan, Hagia Sophia dijadikan tempat even membaca Alqur-an diselenggarakan di Hagia Sophia dengan instruksi dari Atatürk.
Namun, ini sebenarnya bagian dari program Kemalis menghapus Teks, Bahasa, dan Budaya Arab
Saat itu, Hagia Sophia menjadi pusat perhatian massif warga Turki dengan partisipasi puluhan ribu orang. Dimana beberapa hari sebelumnya, pada 30 Januari 1932, adzan Turki pertama digaungkan di Masjid Fatih.
Segala protes kalangan Islam terhadap gerakan Nasionalis Kemalis semacam itu hanya dapat bertahan hingga akhir tahun 1940-an.
Reformasi ini merupakan cerminan dari keinginan Republik untuk menjauh dari identitas "peradaban Islam" dan beralih mendekat ke peradaban Barat. Ideologi nasionalisme dianggap lebih fungsional, karena mereka percaya ini bisa terjadi melalui nasionalisasi. Oleh sebab itu, mereka ingin menasionalisasi agama.
Kaum Islamis marah karena proyek-proyek kaum nasionalis untuk menasionalisasi agama sama-sama merupakan gangguan terhadap kebebasan beragama. Inilah yang membuat kalangan islamis mendorong transisi demokrasi ke kehidupan multi-partai dan terutama tahun 1950-an.
Dampak Bagi Persepsi Internasional dan Clash of Civilization
Di sinilah pertarungan atau kontestasi sebenarnya yang dituju oleh Erdoğan. Pertarungan arus nasionalisme demokratik yang lahir 1950-an dengan nasionalisme Kemalis yang lahir 1930-an.
Erdoğan hendak membangkitkan trauma warga Turki terhadap lawan politiknya, menyadarkan Kemalis, nasionalisme sekuler, tetaplah berkuasa untuk tujuan menjauhkan diri dari masa lalu sejarah kakek-moyang Ottoman dan Islam.
Mereka ingin peran Islam tidak terlalu dominan dalam identitas nasional yang mereka coba ciptakan untuk warga negara Republik. Menurut nasionalisme dan sekularisme Kemalis, reformasi dalam agama sangat penting untuk pembangunan identitas nasional.
Meskipun demikian, dampak luar negeri dari kebijakan Erdoğan terkait Hagia Sophia ini justru perlu dikalkulasi. Tentu akan banyak dampak bagi persepsi masyarakat non-Muslim di luar Turki.
Terdapat kekhawatiran ketika kebijakan ini dikaitkan dengan kampanye Erdoğan tentang agenda pembebasan Al-Aqsha.
Tentu perlu dipikirkan bagaimana pola komunikasi Turki pasca kebijakan Hagia Sophia ini.
Sebab kita mengetahui bahwa Paus di Vatikan dan Uskup Agung Canterbury merupakan pihak yang melakukan perbincangan langsung dan memiliki kesamaan pandangan dengan Erdoğan tentang upaya melindungi status Yerusalem sebagai kota tiga agama, merawatnya sebagai warisan UNESCO, dan membentuk aliansi antar peradaban.
Populisme yang dipilih Erdoğan dalam kebijakan Hagia Sophia ini tidak boleh menjadi penajam dalam potensi Clash of Civilization.
Erdoğan, di samping memikirkan momentum politik domestik yang hendak dicapainya, memang akhirnya dipersepsi memiliki tujuan lain di balik kebijakan Hagia Sophia seperti kebijakan luar negeri terhadap Yunani, kalangan Kristiani internasional, meraih simpati kalangan Islamis global dan dunia Muslim, atau bahkan agenda mengambil alih Israel.
Sebagai konsekuensi meningkatnya kepemimpinan Turki di kawasan, memang akhirnya ketegangan klasik nasionalis demokratis vs nasionalis kemalis yang terjadi dalam kontestasi politik domestik, serta pertarungan internal dan obsesi aktor politik domestik Turki kini tak terhindarkan menjadi panggung yang disaksikan anak segala bangsa.
*Peraih Doktor (Ph.D) Ilmu Politik dan Hubungan İnternasional dari İstanbul University, Turki