OLEH: Ichwan Anggawirya
Sehubungan dengan artikel berjudul “UU Pro Pelanggar Hak Cipta” yang dimuat di harian Kompas tanggal 12 Agustus 2020, halaman 7, kali ini penulis ingin memberikan opini terkait Pasal 95 ayat (4) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 Tentang Hak Cipta mengenai keharusan untuk menempuh terlebih dahulu penyelesaian sengketa melalui mediasi sebelum mengajukan tuntutan pidana, kecuali jika pelanggaran Hak Cipta tersebut dalam bentuk pembajakan.
Yang dipermasalahkan adalah “pemahaman bahwa untuk mengajukan tuntutan pidana harus melakukan mediasi terlebih dahulu, penyidik Polri dan PPNS Ditjen KI ketika menerima pengaduan pelanggaran Hak Cipta selalu meminta bukti bahwa telah ada mediasi, atau setidak-tidaknya telah menyomasi terduga pelanggar Hak Cipta”.
Bila dicermati, sebenarnya tidak ada dalam pasal tersebut yang mengkaitkan keharusan melakukan mediasi dengan perkara pidana, Pasal 95 ayat (4) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 Tentang Hak Cipta, berbunyi:
“Selain pelanggaran Hak Cipta dan/atau Hak Terkait dalam bentuk Pembajakan, sepanjang para pihak yang bersengketa diketahui keberadaannya dan/atau berada di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia harus menempuh terlebih dahulu penyelesaian sengketa melalui mediasi sebelum melakukan tuntutan pidana”.
Kalimat dalam pasal tersebut cukup jelas bahwa yang terkait pada mediasi adalah penyelesaian sengketanya, bukan pada tuntutan pidananya.
Kata “sengketa” jelas merupakan perkara perdata, sesuai bunyi Pasal 95 ayat (2) bahwa Pengadilan yang berwenang sebagaimana dimaksud ayat (1) adalah Pengadilan Niaga.
Pasal 95 ayat (4) ini memberi pengecualian selain pelanggaran dalam bentuk Pembajakan, karena dalam perkara Pembajakan memang murni perkara pidana yang lebih kepada pembuktian materiil, sedangkan jika terjadi sengketa pastilah ada unsur perdata yang perlu pembuktian formil, sehingga apabila ada tuntutan pidana maka harus ditangguhkan terlebih dahulu dan menunggu hasil putusan perkara perdatanya, sebagaimana juga dinyatakan dalam Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 1956:
Pasal 1: Apabila dalam pemeriksaan perkara pidana harus diputuskan hal adanya suatu hal perdata atas suatu barang atau tentang suatu hubungan hukum antara dua pihak tertentu, maka pemeriksaan perkara pidana dapat dipertangguhkan untuk menunggu suatu putusan pengadilan dalam pemeriksaan perkara perdata tentang adanya atau tidak adanya hak perdata itu.
Pasal 2: Pertangguhan pemeriksaan perkara pidana, ini dapat sewaktu-waktu dihentikan, apabila dianggap tidak perlu lagi.
Sedangkan pada Pasal 3 yang berbunyi “Pengadilan dalam pemeriksaan perkara pidana tidak terikat oleh suatu putusan Pengadilan dalam pemeriksaan perkara perdata tentang adanya atau tidak adanya suatu hak perdata tadi”, sudah dilakukan revisi melalui Surat Edaran Nomor 4 Tahun 2016 Tentang Pemberlakuan Rumusan Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung Tahun 2016 Sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas Bagi Pengadilan.
Kembali pada pembahasan Pasal 95 ayat (4) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 Tentang Hak Cipta, Pasal ini hanya mengkaitkan masalah mediasi dengan sengketa perdata, bukan mediasi pada perkara pidana, sesuai bunyi pada pasal tersebut “…penyelesaian sengketa melalui mediasi…”, dan tidak ada larangan melakukan laporan dugaan pidana ataupun keharusan somasi pada perkara pidananya, hanya ketika terkait sengketa perdata maka “tuntutan” pidana harus ditangguhkan.
Kesimpulan penulis bahwa setiap kasus harus dipahami substansi dan konteksnya, karena bersifat sangat kasuistis (case by case), sehingga tidak dapat disamaratakan, Pasal 95 ayat (4) ini sudah tepat agar tidak terjadi kecerobohan dalam mempidanakan pihak yang diduga melakukan pelanggaran khususnya dalam dugaan pelanggaran Hak Cipta.
*Ichwan Anggawirya, S.Sn., S.H., M.H., Founder of IndoTrademark.com & MasterLawyer.org, Pakar Hukum Merek dan HKI, alumni Magister Hukum Universitas Bung Karno