Oleh: Karyudi Sutajah Putra
TRIBUNNEWS.COM - Like father like son. Buah jatuh tak jauh dari pohonnya.
Arogansi dipertontonkan oleh Mumtaz Rais, putra bungsu mantan Ketua MPR Amien Rais, saat menumpang pesawat Garuda Indonesia rute Gorontalo-Makassar-Jakarta, Rabu (12/8/2020).
Mumtaz kedapatan bertelepon saat pesawat transit untuk mengisi bahan bakar di Bandar Udara Sultan Hasanuddin, Makassar, Sulawesi Selatan.
Ditegur awak kabin sebanyak tiga kali saat Mumtaz yang mantan anggota DPR itu bertelepon di dalam pesawat, tak mempan.
Wakil Ketua KPK Nawawi Pamolango, yang kebetulan duduk di sebelahnya, akhirnya turun tangan, ikut menegur Mumtaz.
Bukan kepatuhan yang didapat, Nawawi justru mendapat pertanyaan balik: "Kamu siapa?" Nawawi juga dibilang sebagai "pahlawan kesiangan".
Baca: Mumtaz Rais Minta Maaf Seusai Insiden di Pesawat Garuda, Akui Bukan Contoh yang Baik
Seturun dari pesawat, Nawawi mengadu ke Pos Polisi Terminal 3 Bandara Soekarno-Hatta. So, what?
Tak penting apakah Mumtaz bertelepon itu saat pesawat transit atau tidak, yang penting ada di dalam pesawat.
Tak penting apakah ada yang melaporkan atau tidak, yang penting terjadi pelanggaran.
Cukuplah awak kabin dan Nawawi Pamolango menjadi saksi. Aparat harus proaktif.
Itulah yang seharusnya dilakukan aparat penegak hukum terkait ulah Mumtaz Rais yang diduga melanggar Undang-Undang (UU) No 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan.
Pasal 54 huruf f UU No 1/2009 menyebutkan, setiap orang di dalam pesawat udara selama penerbangan dilarang mengoperasikan peralatan elektronik yang dapat mengganggu navigasi penerbangan.
Telepon selular saat dioperasikan memancarkan gelombang elektromagnetik yang dapat mengganggu radar navigasi bahkan komunikasi pesawat dengan Air Traffic Controller (ATC).
Adapun sanksi atas pelanggaran Pasal 54 huruf f diatur dalam
Pasal 412 ayat (5) undang-undang yang sama, yakni pidana penjara selama dua tahun atau denda paling banyak Rp 200 juta rupiah.
Pihak Mumtaz beralibi, Ketua DPP Partai Amanat Nasional (PAN) itu bertelepon saat pesawat sedang berhenti transit.
Alibi ini tak dapat diterima, karena saat bertelepon Mumtaz ada di dalam pesawat.
Pihak Mumtaz berdalih, setelah diketahui Nawawi adalah Wakil Ketua KPK, keributan politisi muda itu dengan yang bersangkutan sudah diselesaikan di dalam pesawat, disaksikan awak kabin, sehingga masalah dianggap selesai.
Tapi, Nawawi bilang, tak ada kata maaf-memaafkan, sehingga persoalan belum selesai. Untuk itu, seturun dari pesawat ia tetap mengadu ke Pos Polisi Terminal 3 Bandara Soetta.
Baiklah, untuk masalah Mumtaz dengan Nawawi bisa saja dianggap selesai, meski Nawawi bisa menuntut Mumtaz dengan pasal perbuatan tidak menyenangkan. Tapi soal dugaan pelanggaran Pasal 54 huruf f UU No 1/2009 tentu tak bisa dianggap selesai begitu saja.
Masalah Mumtaz dengan Nawawi bisa dianggap selesai sepanjang Wakil Ketua KPK itu tidak mengajukan tuntutan pidana, karena masuknya ranah delik aduan.
Sedangkan masalah dugaan pelanggaran UU Penerbangan tak bisa dianggap selesai, karena masuknya ranah delik biasa, bukan delik aduan.
Dimaklumi, pada dasarnya dalam suatu perkara pidana, pemrosesan perkara digantungkan pada jenis deliknya.
Ada dua jenis delik sehubungan dengan pemrosesan perkara pidana, yakni delik aduan dan delik biasa.
Dalam delik biasa, perkara tersebut dapat diproses tanpa adanya persetujuan dari yang dirugikan (korban).
Jadi, walaupun korban telah mencabut laporannya kepada pihak yang berwenang, penyidik tetap berkewajiban untuk memproses perkara tersebut.
Berbeda dengan delik biasa, delik aduan artinya delik yang hanya bisa diproses apabila ada pengaduan atau laporan dari orang yang menjadi korban tindak pidana.
Dalam delik aduan, penuntutan terhadap delik tersebut digantungkan pada persetujuan dari yang dirugikan (korban). Pada delik aduan ini, korban tindak pidana dapat mencabut laporannya kepada pihak yang berwenang apabila di antara mereka telah terjadi suatu perdamaian.
Minta Maaf
Setelah terjadi polemik, akhirnya Mumtaz Rais minta maaf kepada Nawawi, Garuda dan khalayak ramai atas keributan yang ia timbulkan. Akankah pihak Garuda dan Nawawi menghentikan perkara ini?
Sebelumnya, Direktur Utama Garuda Irfan Setia Putra mengaku akan menghormati proses hukum perkara ini, bahkan akan kooperatif dengan memberikan keterangan yang diperlukan penegak hukum.
Akan halnya Nawawi, bisa saja Wakil Ketua KPK ini memaafkan Mumtaz Rais. Bisa pula ia mencabut pengaduannya.
Tapi karena ini bukan ranah delik aduan, semestinya perkara ini berlanjut ke proses hukum.
Sebelumnya, Kabid Humas Polda Metro Jaya Kombes Yusri Yunus juga mengaku akan proaktif mengusut perkara ini. Bagaimama kini setelah Mumtaz Rais minta maaf?
Sekali lagi, perkara ini adalah delik biasa, bukan delik aduan. Jadi, meskipun katakanlah pihak Garuda dan Nawawi memaafkan Mumtaz, kasusnya harus terus berlanjut.
Betapa banyak pelaku tindak pidana yang setelah terungkap lalu minta maaf, tapi toh perkaranya tetap jalan terus.
Bila polisi menghentikan atau tidak memproses perkara Mumtaz, korps bhayangkara ini bisa dituduh tebang pilih atau diskriminatif. Polisi bisa dituding melanggar asas "equality before the law" (kesetaraan di muka hukum).
Para calon penumpang pesawat juga akan dengan mudah melanggar aturan keselamatan penerbangan. Sebab jika mereka melanggar, meminta maaf saja sudah cukup. Tak ada "shock teraphy" (terapi kejut) bagi calon penumpang, dan tak ada "deterrent effect" (efek jera) bagi pelaku pelanggaran.
Pun, jangan salahkan jika anekdot "hukum tumpul ke atas tapi tajam ke bawah" atan terus melekat di benak masyarakat.
Apa hanya gara-gara Mumtaz mantan anggota DPR, petinggi partai, anak Amien Rais, dan menantu Ketua Umum PAN Zulkifli Hasan pula lalu bebas dari jeratan hukum?
* Karyudi Sutajah Putra: Pegiat Media, Tinggal di Jakarta.