OLEH: ABRAHAM RUNGA MALI, Koordinator Forum Indonesia Financial Watch
SEBAGAI salah satu bank BUMN besar dan sudah cukup lama go public, PT Bank Negara Indonesia (BNI) selalu layak menjadi perhatian banyak pihak.
Sekadar menggambarkan kebesaran bank ini, hingga akhir 2019, BNI memiliki aset sebesar Rp 845, 81 triliun dengan total kredit Rp 556, 77 trilun. Laba bersih Rp 15,38 triliun.
Sebagai unit bisnis sebesar itu, tidak mengherankan kalau banyak yang mengincar posisi sebagai dewan direksi dan juga dewan komisaris.
Bayangkan saja, seorang Agus Martowardojo yang notabene mantan Gubernur Bank Indonesia pun, saat pensiun diberi kehormatan untuk menjabat sebagai presiden komisaris di tempat itu.
Terkait dinamika di internal BNI, penulis tergelitik untuk mencermati “perebutan” kursi dewan direksi di bank tersebut, yang kembali meruyak ke permukaan.
Kronologi singkatnya seperti berikut. Pada 20 Ferbuari 2020, sebagai perusahaan publik, BNI melaksanakan rapat umum pemegang saham tahunan (RUPST) dengan salah satu agenda pentingnya adalah pergantian dewan direksi dan dewan komisaris.
Kebutuhan perombakan itu terjadi setelah Presdir BNI yang lama Achmad Baiquni melepaskan jabatannya. Dalam RUPST tersebut disepakati Herry Sidharta didapuk sebagai pengganti Baiquni.
Selain itu, RUPST BNI juga menunjuk Anggoro Eko Cahyo sebagai Wakil Direktur Utama, yang sebelumnya ditempati oleh Herry Sidharta. Anggoro sebelumnya menjabat Direktur Konsumer BNI.
Bersamaan dengan itu, RUPST BNI turut mengangkat Agus Dermawan Wintarto Martowardojo sebagai Komisaris Utama perusahaan menggantikan Ari Kuncoro.
Di jajaran dewan komisaris, selain Agus Martowardojo, masih ada nama-nama lain seperti Ratih Nurdiati, Juni Swastanto, Askolani dan Susyanto.
Sedangkan sebagai komisaris independen ada Pradjoto, Asmawi Syam, Septian Hario Seto dan Iman Sugema.
Pada jajaran dewan direksi, yang mendampingi Herry Sidharta (Dirut) dan Anggoro Eko Cahyo (Wakil Dirut), adalah Bob Tyasika Ananta, Putrama Wahju Setyawan, Apik Widyanto, YB Harianto, Adi Sulistyowati, Benny Yoslim, Tambok P.S. Simanjuntak dan Osbal Saragi Rumahorbo.
Tarik Menarik
Kalau saja BNI bukan bank, mestinya keputusan soal perombakan dewan direksi dan komisaris sudah final pada RUPST pada Februari 2020.
Namun, sebagai instituai perbankan, nama-nama yang sudah disetujui pemegang saham harus melewati uji kepatutan dan kelayakan (fit and proper test) di hadapan Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
Sialnya, saat uji kepatutan dan kelayakan oleh OJK tersebut, Wakil Dirut BNI Anggoro Eko Cahyo dinyatakan tidak lulus.
Terkait hal itu, OJK meminta BNI melakukan rapat umum pemegang saham luar biasa (RUPSLB). BNI pun merespons dengan rencana melaksanakan RUPSLB pada 2 September 2020 dengan agenda tunggal perombakan dewan direksi.
Logikanya, dengan merujuk hasil uji kepatutan dan kelayakan OJK, posisi Wakil Dirut BNI Anggoro Eko Cahyo mestinya diganti. Bagaimana mungkin seseorang yang tak lolos ujian tetap harus dipertahankan?
Namun, terpetik kabar ada 'orang kuat' di internal BNI yang ingin mempertahankan dan menyelamatkan nasib Anggoro sebagai wakil dirut perseroan.
Kalau kabar miring itu benar terjadi, urusannya pasti karena pertimbangan kekuasaan, bukan lagi profesionalitas.
Konon, Anggoro masih dibutuhkan untuk bertahan di posisi Wakil Dirut BNI untuk menjaga keseimbangan dengan posisi Herry yang dianggap kurang memiliki hubungan yang harmonis dengan Agus Marto sebagai Komisaris Utama.
Tentu saja dalam nalar meritokrasi, munculnya kabar tentang rebutan kekuasaan di BNI dengan cara yang tidak profesional dan melanggar prinsip prudential banking itu jelas mengecewakan di tengah agenda besar reformasi BUMN yang didengung-dengungkan oleh Menteri BUMN Erick Thohir.
Semoga perebuatan kekuasaan dan rivalitas di antara “orang-orang kuat” di jajaran petinggi BNI yang menyelimuti agenda perombakan dewan direksi bank pelat merah itu cuma isapan jempol.
Bukan apa-apa. Sayang jika BNI yang melegenda sebagai bank BUMN hanya jadi ajang pertaruhan kepentingan dan kekuasaan.
Karena itu, tak ada pilihan lain, Menteri BUMN Erick Thohir harus memastikan agar RUPSLB BNI pada 2 September nanti tetap mengacu pada hasil fit and proper test jajaran direksi yang sebelumnya dirilis OJK.
Jangan sampai ada langkah kuda yang menegasikan wibawa hasil kerja lembaga sepenting OJK demi menjaga kepercayaan industri perbankan itu sendiri.(*)