Pasal 9 huruf f UU KPK menyebutkan, KPK berhak mengambil alih penyidikan apabila terjadi hambatan dari keadaan lain yang menurut pertimbangan Kepolisian atau Kejaksaan, penanganan tindak pidana korupsi sulit dilaksanakanĀ secara baik dan dapat dipertanggungjawabkan.
Konflik kepentingan saat Kejagung menangani perkara suap jaksa Pinangki Sirna Malasari jelas terjadi.
Tak mungkin jeruk makan jeruk. Lalu mengapa Kejagung "keukeuh" tak mau menyerahkannya ke KPK? Patut diduga ada "hidden agenda" (agenda terselebung).
Apa "hidden agenda" itu? Salah satunya ya mengacak "puzzle" itu tadi. Dengan diacaknya "puzzle" tersebut maka pihak lain yang lebih tinggi tak akan tersentuh.
Kasus hanya akan berkutat di seputar pihak-pihak yang memang tak terelakkan lagi sudah ditetapkan sebagai tersangka, yakni Joker, Pinangki, pengacara Joker, Anita Kolopaking, mantan Kepala Biro Koordinasi dan Pengawasan PPNS Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Polri Brigadir Jenderal Prasetijo Utomo, mantan Kepala Divisi Hubungan Internasional Polri Inspektur Jenderal Napoleon Bonaparte, dan belakangan Andi Irfan Jaya.
Lama-lama "puzzel" akan menjadi kabur dan tak berbentuk. Pihak-pihak lain pun akan lepas.
Kalau memang ingin menemukan susunan "puzzle" yang benar dan lengkap, tak ada cara lain kecuali KPK harus mengambil alih kasus suap Joker-Pinangki ini dari tangan Kejagung dan Polri.
* Karyudi Sutajah Putra: Pegiat Media, Tinggal di Jakarta.