Oleh Anwar Hudijono
Sekitar tiga pekan lalu, seorang pimpinan Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) menelepon saya.
Dia mengundang saya untuk menjadi narasumber dalam kaitan rencana sejumlah dosen muda UMM yang ingin menulis tentang Pak Malik Fadjar.
“Teman-teman itu akan menulis tentang Pak Malik dengan pijakan buku panjenengan, Darah Guru Darah Muhammadiyah. Maka sudah seharusnya jika panjengan bisa memberikan panduan,” katanya.
Saya bersama kakak ipar saya, H Anshari Thayib memang menulis buku, “Darah Guru Darah Muhammadiyah Perjalanan Hidup Abdul Malik Fadjar”, diterbitkan oleh Penerbit Buku Kompas Februari tahun 2006. Penerbitan kedua oleh UMM Press tahun 2009.
Saya terharu. Nadi-nadi saya bergetar. Sudah sering kali saya diskusi dengan kalangan pimpinan UMM, Muhammadiyah, Alumni Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) untuk menulis lanjutan tentang Pak Malik. Tapi belum terealiasi.
Sekarang ada sejumlah dosen muda yang berminat hendak menulis Pak Malik. Dalam hati saya berdoa semoga kali ini tidak berhenti di gagasan.
Dalam monentum sejarah yang krusial, sering Allah memilih kalangan muda. Misalnya, Ali bin Abi Thalib yang menggantikan Rasulullah di tempat tidurnya ketika diserang kaum kafir Mekah.
Adalah seorang pemuda pula yang menyertai Musa belajar kepada Hidlir dalam sebuah momentum sejarah yang diabadikan Quran.
Allah juga memilih ashabul kahfi dalam drama kehidupan di dalam goa. Sebuah drama yang kemungkinan akan berulang secara substansial di akhir zaman.
Rencana kalangan dosen muda itu sangat bagus. Bahkan kayaknya keharusan ya bagi UMM. Karena buku yang saya tulis itu baru sekitar 20 persen saja dari anatomi Pak Malik.
Beliau itu bak sumur tanpa dasar. Insya Allah ditimba ilmu dan inspirasinya tidak akan kering.
Beliau itu seperti taman laut tanpa tepi. Semakin diselami akan semakin menarik. Ada selaksa panaroma yang elok. Di dalamnya tersimpan lu’lu’u wal marjan (mutiara dan marjan).
Dengan mereka menulis tentang Pak Malik, bisa dipandang mereka sedang nyantri kepada seorang kiai.