Eman-eman jika cahaya mutiara itu tetap terpendam.
Lantas saya coba melalui Kompas. Seingat saya, pemikiran Pak Malik yang saya angkat pertama kali di Kompas adalah tentang bangsa ini terjebak pada formalisme kosong.
Pemikiran ini sebenarnya berisi keprihatinan yang mendalam atas kesalahan arah pembangunan. Sekaligus kritik yang sangat keras.
Suatu yang sangat penuh risiko di masa Orde Baru. Pak Malik bukan tidak menyadari risiko itu. Tapi bagi beliau, risiko adalah bagian dari perjuangan dakwah amar ma’ruf nahi mungkar.
Di mana pemerintah lebih mementingkan formalitas seperti angka pertumbuhan ekonomi, konsep trickle down effect (tetesan ke bawah) tapi lekang pada substansi amanat pendiri bangsa yaitu keadilan, kemakmuran yang merata. Pemerintah bertindak ororitarian, mengabaikan demokrasi.
Dalam beragama pun banyak yang mementingkan formalitas beragama daripada menjadikan nilai-nilai agama dalam gerakan kehidupan sehari-hari.
Agama sekadarmenjadi amalan ritual, tidak diimplemantasikan dalam kehidupan sehari sebagai panduan tugas khalifah di atas bumi.
Saya tidak mengira jika tulisan saya dimuat di bawah headline halaman 1 (utama). Padahal untuk sosok baru muncul di Kompas itu sangat sulit. Selanjutnya setiap saya nulis beliau, selalu dimuat. Bahkan hampir selalu di halaman satu.
NGAJI TERAKHIR
Pemimpin Redaksi Kompas Pak Jakob Oetama memberikan perhatian khusus. Pak Jakob menilai, Pak Malik adalah salah satu tokoh pembaruan Indonesia seiring dengan Cak Nur, Gus Dur.
Kedua tokoh ini sahabat beliau. Di Muktamar NU Situbondo tahun 1984, Pak Malik dan Cak Nur memberikan suport kepada Gus Dur sampa Muktamar selesai.
Akhirnya Pak Jakob dengan Pak Malik menjadi sahabat yang baik. Beberapa kali Pak Jakob berkunjung ke UMM.
Bahkan namanya dibadikan di salah satu ruangan Perpustakaan UMM dengan Jakob Oetama Corner.
Lantaran keakraban mereka pula Pak Jakob diundang menjadi narasumber di Tanwir Muhammadiyah di Denpasar, Bali. Ini juga peristiwa yang sangat langka.
Menjelang Pemilihan Presiden tahun 2019 Beliau memanggil saya ke rumah putrinya di Malang. Intinya saya ngaji tentang peta politik zaman now dan masa depan bangsa dan negara.
Metode ngajinya tetap seperti biasanya yaitu diskusi. Saya tahu persis, pemikiran orisinal dan brilian beliau akan keluar deras melalui diskusi. Ibarat mutiara yang digosok, semakin mencorong.
Dan ternyata itulah ngaji terakhir saya kepada beliau. Sugeng kundur, Pak Malik. Semoga husnul khatimah. Amin
Anwar Hudijono, wartawan senior tinggal di Sidoarjo.