Ngaji politik ke beliau itu kita diajak ke relung inti untuk belajar kedalaman politik. Substansinya. Mengungkap misterisnya.
Para dalang politik yang menentukan obah mosiking politik itu memberada di relung tersebut. Karena politik itu sering kali yang ada di dalam itu berbeda dengan yang ada di permukaan.
Mengapa beliau tidak mau masuk partai politik? Karena tidak mau bergerak di permukaan. Yang sering kali bergerak mengikuti kehendak porosnya.
“Kalau mau main politik itu jangan di becek-beceknya, Dik. Cuma gelepot lumpur. Jangan di pingiran. Harus di tengah, di pusat pergerakan,” kata Beliau menjelang Pilpres 2019.
MENGANGKAT MUTIARA
Saya menjadi santri beliau sejak sekitar tahun 1983-1984. Pada waktu itu saya masih mahasiswa. Lebih intensif ketika saya sudah menjadi wartawan Kompas tahun 1984.
Tempat ngajinya di rumah beliau di sebuah gang di Kampung Pandean, Kota Malang. Menurut Kepala Biro Kompas Jatim Max Margono, rumah itu terlalu sederhana untuk seorang rektor yang juga sebagai Direktur Jenderal Binbaga Kementerian Agama.
Rumah inilah yang sertifikatnya diagunkan di bank untuk cari dana pembangunan UMM.
Biasanya ngajinya malam hari. Terkadang sampai subuh. Sering kali saya tidur di padepokan itu juga. Sampai saya sudah dianggap keluarga sendiri.
Dan saya sangat bangga menjadi bagian keluarga beliau. Sebuah keluarga sederhana yang mesra.
Rumah itu seperti padepokan. Dindingnya ada hiasan semar. Biasanya saya ngaji sendirian, kadang dengan orang lain.
Biasanya saya dipanggil untuk ikut diskusi jika beliau kedatangan tamu istimewa seperti Ketua PP Muhammadiyah Pak KH AR Fachruddin, Cak Nur alias Dr Nurcholish Madjid, Buya Syafi’i Ma’arif, Mas Djohan Effendy, menteri era Presiden Gus Dur, Romo Jansen dan banyak lagi.
Tamu seperti Pak AR, Cak Nur, Buya Syafi’i itu memilih bermalam di rumah Pak Malik daripada di hotel.
Saya berpandangan Pak Malik itu laksana mutiara yang masih tertimbun lumpur. Sebagai wartawan saya memiliki peluang untuk mengangkat mutiara tersebut.