Jakob masih lancar bertutur tentang hakikat jurnalis sebagai sebuah profesi. Ia masih runtut bertutur tentang keasyikan menjadi wartawan, karena setiap hari melakukan perang.
Perang batin seorang wartawan, bisa jadi terjadi setiap hari. Akan tetapi, melalui peperangan batin setiap hari itulah, profesi wartawan menjadi begitu menantang.
Dalam urusan perang yang dimaksud, Jakob Oetama adalah seorang ksatria wijaya, yang kini bahkan sudah menjelma menjadi pertapa sakti.
Bayang-bayang kelahiran Kompas suratkabar paling bersinar di Indonesia saat ini, ternyata memiliki keterkaitan erat dengan sang proklamator.
Adalah dua nama: Jakob Oetama dan Petrus Kanisius (PK) Ojong, dua dedengkot pendiri Harian Kompas yang dikenal masyarakat.
Tahukah Anda, di antara dua nama itu, Bung Karno konon lebih suka kepada Jakob Oetama. Karenanya, saat Harian Kompas terbit, Jakob-lah yang memegang kemudi redaksi. Sementara, PK Ojong berkutat di bagian tata usaha.
Sambung kisah antara Kompas dan Bung Karno, sejatinya memang cukup erat. Sebab, nama “Kompas” itu sendiri adalah nama pemberian Bung Karno. Tentu saja, kisahnya tidak sesederhana itu.
Bermula dari suatu kurun bernama tahun 1964, ketika Bung Karno meminta agar Partai Katolik membuat suratkabar.
Perintah Bung Karno, langsung ditanggapi positif. Sejumlah tokoh Katolik seperti Frans Xaverius Seda, PK Ojong, Jakob Oetama, R.G. Doeriat, Policarpus Swantoro, dan R Soekarsono mengadakan pertemuan dengan Majelis Agung Wali Gereja Indonesia (MAWI), Partai Katolik, Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI), Pemuda Katolik dan Perempuan Katolik.
Pertemuan ini menyepakati pembantukan Yayasan Bentara Rakyat. Yayasan itu diketuai Ignatius Joseph Kasimo (Ketua Partai Katolik), wakil ketua Frans Seda (Menteri Perkebunan Kabinet Sukarno), penulis I, FC Palaunsuka, penulis II, Jakob Oetama, dan bendahara PK Ojong. Dari yayasan inilah kemudian lahir harian Kompas.
Dalam sebuah keterangan, Frans Seda pernah mengatakan ihwal pesan Jenderal Ahmad Yani, agar harian Kompas dapat menandingi wacana yang dikembangkan PKI.
Masih menurut Frans Seda, PKI tahu ihwal Kompas yang berpotensi menandingi PKI, maka dilakukanlah usaha penghadangan dan penggagalan penerbitan koran ini. Namun, karena Bung Karno sudah memberi izin, maka praktis upaya PKI sia-sia.
Setelah ada izin Bung Karno, Yayasan Bentara Rakyat tidak segera bisa menerbitkan koran dimaksud. Sebab, harus pula mengantongi izin dari Panglima Militer Jakarta, yang waktu itu dijabat Letnan Kolonel Dachja.
Sang Letnan Kolonel memberi syarat, izin keluar kalau Yayasan Bentara Rakyat mampu mendapatkan sedikitnya 5.000 tanda tangan warga sebagai pelanggan. Frans Seda mengutus para wartawan pergi ke NTT, sehingga syarat itu dengan mudah bisa dipenuhi.