Setelah semua siap, kembali Frans Seda melapor kepada Bung Karno. Kedudukannya sebagai menteri ketika itu, memang memungkinkan setiap saat bisa menjumpai Bung Karno.
Saat bertemu, Frans Seda melaporkan kesiapan Yayasan Bentara Rakyat menerbitkan koran Katolik, seperti diminta Bung Karno.
Nah, tahukah Anda, nama koran yang disodorkan kepada Bung Karno ketika itu bukan Kompas, melainkan koran Bentara Rakyat.
Setelah mengernyitkan dahi sejenak, Bung Karno lantas mengusulkan agar nama itu diganti menjadi “Kompas” yang berarti penunjuk arah.
“Sabda pandita ratu”, pepatah Jawa. Bahwa titah raja adalah perintah. Bagaikan sebuah titah, maka sabda Bung Karno pun langsung diiyakan Frans Seda.
Usul nama dari Bung Karno kemudian dirapatkan di Yayasan Bentara Rakyat. Tanpa perdebatan sengit, usul Bung Karno tadi langsung diterima, sehingga nama koran Bentara Rakyat dikubur, dan dimunculkanlah nama “Kompas” dengan tambahan tagline “Amanat Hati Nurani Rakyat”.
Koran ini terbit pertama kali pada 28 Juni 1965. Itu artinya, tiga bulan menjelang terjadinya ontran-ontran G-30-S.
Pascatragedi yang merenggut tujuh perwira terbaik TNI-Angkatan Darat, pamor Bung Karno redup atau diredupkan.
Namun salah satu “warisan” nama, Harian Kompas, justru makin bersinar. Sinarnya, menerangi jagat media Nusantara hingga hari ini.
Jakob Oetama wafat Rabu (9/9/2020) di RS Mitra Keluarga, Kelapa Gading, Jakarta Utara. Tidak hanya insan pers nasional, tapi bangsa ini turut berduka atas kepergian tokoh media yang terkenal humanis itu.
Selamat jalan, Pak Jakob!