Oleh: Arya Sandhiyudha, Ph.D
Direktur Eksekutif, The Indonesian Democracy Initiative (TIDI)
TRIBUNNERS - Setiap 28 September, lebih dari 60 negara demokratis di dunia memperingati Hari Hak untuk Tahu (Right to Know Day).
Pertama kali Hari Hak untuk Tahu ini dimulai di Bulgaria, 18 tahun lalu pada 2002.
Sedangkan Indonesia baru memperingatinya sejak 2011 yang diinisiasi oleh Komisi Informasi Pusat (KIP) bersama Komisi Informasi Provinsi yang telah terbentuk saat itu atas amanat Undang-Undang (UU) No. 14 tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik.
Dalam tata kelola Demokratik di dunia, rakyat memiliki hak untuk mengetahui setiap informasi publik dan kegiatan publik yang dilakukan oleh pejabat publik mereka.
Baca: Wakil Ketua MPR Ajak Semua Komponen Masyarakat Terlibat Aktif Atasi Pandemi
Hak untuk tahu (right to know) merupakan bagian tak terpisahkan dari konsep Kebebasan berbicara dan berekspresi (freedom of speech and expression).
Pada saat yang sama, Pemerintah Terbuka (Open Government) tidak berarti bahwa seluruh aktivitas pemerintah harus dilakukan di ruang publik.
Dalam klasifikasi informasi yang bertujuan untuk keamanan nasional, semua negara di dunia mufakat melihatnya tidak tepat untuk dibuka umum. UU tentang Hak atas Informasi (Right to Information) dalam bahasa V. R. Krishna Iyer merupakan: ‘senjata utama warga negara dalam melawan penyalahgunaan kekuasaan’ ( “I regard legislation on the right to information as vital weapon of the citizen against abuse of power”). Ia urat-saraf yang menjaga denyut demokrasi.
Hak atas Informasi dalam Konstitusi Negara Demokrasi di Dunia
Dalam praktik negara-negara di dunia, Hak atas informasi telah diakui di berbagai negara, baik yang memasukkannya ke dalam konstitusi Undang-Undang Dasar atau dengan memberlakukan Undang-Undang terpisah tentang tema tersebut.
Adapula yang menyebutkannya dalam satu-dua pasal dalam konstitusi Undang-Undang Dasar, kemudian secara komprehensif diwujudkan dalam Undang-undang terpisah.
Swedia adalah negara pertama di dunia yang memberikan hak kepada warga negaranya untuk mengakses informasi sejak 1766, ketika Parlemennya mengesahkan Freedom of the Press Act. Undang-Undang ini bahkan menjadi bagian dari Konstitusi Swedia.
Artinya, Swedia menjadi negara pertama di dunia dalam dua kategori, mengaturnya dalam konstitusi negara juga dalam pembentukan Undang-Undang terpisah dan komprehensif.
Beberapa negara Eropa yang juga mengatur Hak ini (Rights to Information/ Freedom of Information) dalam konstitusi dasar negara sejak awal era perjalanan negara-bangsa, yakni Polandia, Bulgaria, Hungaria, Lithuania, Estonia, Albania, Belgia, Belanda, Spanyol, Moldova, Slovakia, Rusia dan Rumania dalam konstitusi mereka.
Sementara, di Asia, Afrika, dan Afrika beberapa negara juga mengakui hak atas informasi dalam konstitusi negaranya, seperti kita di Indonesia, kemudian Filipina, Nepal, Malawi, Tanzania, Mozambique, Peru dan Argentina, dll.
Baca: Tips Menteri PPPA Bintang Puspayoga Agar Keluarga Tetap Aman di Tengah Pandemi Covid-19
“Hak untuk Tahu” di Indonesia:
Konstitusi Demokratis dan Kombinasi Pendekatan
Indonesia sejak kelahiran Republik telah menjamin hak seluruh warga negara untuk mengakses informasi.
Keberadaan pasal 28F UUD NRI 1945 menunjukkan pendiri bangsa Indonesia sangat visioner dan demokratis. Ini membuat Indonesia menjadi pelopor Hak atas Informasi dalam Konstitusi Negara, diantara negara-negara Asia – Afrika – Amerika.
Kemudian, di era reformasi terbitlah UU Keterbukaan Informasi Publik (14/2008), hingga berdirinya Komisi Informasi (2010).
Sebagaimana UU 14/2008 di Indonesia, setiap UU Hak atas Informasi di negara-negara demokrasi merupakan upaya menghadapi memberikan hak fundamental kepada setiap warga negara kebebasan berbicara dan berekspresi, dimana salah satunya hak untuk memperoleh semua informasi dari badan publik yang diperlukan terkait kepentingan publik.
Apabila ditinjau dari perbandingan negara-negara dunia, Indonesia telah sukses merumuskan UU 14/2008 yang dalam pandangan kami mencakup beberapa substansi dari tiga pendekatan yang ada di dunia: pendekatan hati-hati (Inggris), pendekatan pemberian informasi yang cepat dan murah (Australia), Pendekatan transparan dan krusial (Amerika Serikat). Selain unsur modifikasi ketentuan khas di beberapa negara (Selandia Baru, Kanada, Jerman, Irlandia, Bangladesh, Pakistan, dan India) yang tentunya didasari konteks Indonesia.
Pendekatan Transparan dan Krusial dalam Pengelolaan Informasi Publik
Menghadapi tantangan pada masa Pandemi di Indonesia, dibutuhkan tiga pendekatan.
Pertama, transparan dan krusial (transparent and crucial approach) dalam Keterbukaan Informasi Publik, yaitu Pemerintah (Pusat, Provinsi, Kota/Kabupaten) wajib pro-aktif menyampaikan Informasi Publik terkait wabah Covid19 secara benar, akurat, dan tidak menyesatkan.
Pemerintah (Pusat, Provinsi, Kota/Kabupaten) wajib mengelola informasi terkait COVID-19 sebagai informasi serta-merta yang penyampaiannya tidak boleh ditunda, karena dapat mengancam hajat hidup orang banyak dan ketertiban umum. (pasal 10 UU KIP, pasal 12 Peraturan Komisi Informasi/ PERKI Standard Layanan Informasi Publik /SLIP).
Artinya, Komisi Informasi musti memperhatikan agar Badan Publik menjamin hak dan akses layanan informasi publik sebagai bagian pemenuhan hak-hak dasar masyarakat dalam masa penerapan PSBB. Ini secara otomatis akan membantu pemerintah lebih optimal dalam mencegah penyebaran dan menangani virus COVID-19.
Informasi yang harus disediakan dengan cepat oleh badan publik meliputi cara penanganan COVID-19 agar tidak mudah terpapar.
Begitupun, informasi penanganan dampak Pandemi bagi masyarakat, seperti: Bantuan sosial kebutuhan pokok, siapa yang berhak menerima bantuan, cara mendapatkan bantuan, kebijakan ekonomi meliputi relaksasi kredit, bantuan modal dan keringanan pajak.
Dalam hal penegakan hukum, terkait bagaimana pelaksanaan persidangan perdata dan pidana, hak tersangka, terdakwa, dan terpidana. Dalam sektor pendidikan, terkait Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ), di mana saja jangkauan akses internet dan perangkat teknologi informasi (HP/laptop) yang disediakan Pemerintah.
Pendekatan Kehati-hatian dan Disiplin dalam Pengelolaan Informasi Publik
Kedua, pendekatan kehati-hatian dan disiplin (cautious and discipline approach), termasuk di dalamnya transparansi yang tetap dalam koridor bahwa tidak semua informasi dapat dibuka.
Dalam hal ini, UU KIP telah menggariskan bahwa informasi pribadi pasien termasuk kategori informasi yang wajib dijaga dan dilindungi, kecuali secara pribadi pasien telah menyetujui atau bahkan mengumumkan sendiri ke publik -seperti yang juga saya lakukan ketika sempat dinyatakan positif COVID-19 hingga kemudian negatif pulih kembali.
Pedoman hukum ini hadir untuk menghindari terjadinya pelanggaran hak pribadi atas informasi termasuk jejak rekam medis pribadi.
Sebab, keterbukaan tidak boleh merugikan kepentingan negara (pasal 17 huruf a, c, d, f, dan i), bisnis (pasal 17 huruf b, d, dan e), dan pribadi (pasal 17 huruf g dan h), dimana termasuk di dalamnya rahasia pribadi pasien. Ketiga kepentingan tersebut (negara, bisnis, pribadi) tersebut masuk ke dalam informasi dikecualikan. Selain itu, mencegah informasi sumir (desas-desus, hoax, disinformasi, dan sebagainya).
Pendekatan Cepat dan Murah dalam Pengelolaan Informasi Publik
Ketiga, pendekatan cepat dan murah (prompt and cheap approach). Terutama ketika merespon permohonan informasi, dalam UU (Pasal 21) musti cepat, tepat waktu, dan biaya ringan.
Komisi Informasi musti menyediakan sarana komunikasi online yang efektif untuk menyampaikan keluhan (complain) atas tidak diberikannya informasi publik kepada masyarakat. Kemudian, penyiapan fasilitas sidang sengketa informasi juga musti tersedia secara online.
Mitra Strategis Pemerintahan dalam Pembangunan
Di masa pandemi ini, dimana mobilitas sangat terbatas, maka sinergi antara Komisi Informasi dengan eksekutif dan parlemen juga kian niscaya dibutuhkan. Komisi Informasi musti memosisikan diri sebagai mitra strategis pemerintahan, diantaranya dengan eksekutif dan parlemen.
Di satu sisi, mitra strategis eksekutif berarti pendampingan optimal Badan Publik dalam meningkatkan kualitas pelayanan informasi publik.
Positioning ini tujuannya mendorong pemerintahan yang terbuka, demokratis, responsif, dan bertanggung jawab memajukan negara/provinsi/kota/kabupaten dan membahagiakan warganya.
Di sisi lain, mitra strategis parlemen (DPR RI/ DPRD) dengan bersinergi dengan Wakil Rakyat di Komisi yang bermitra dengan Komisi Informasi sebagai “Sahabat Keterbukaan Informasi Publik (KIP)”.
Sosialisasi dan edukasi Keterbukaan Informasi Publik di tengah masyarakat sangat membutuhkan peran para wakil rakyat yang memiliki ikatan kepercayaan yang khas dengan rakyat yang diwakilinya di dapil. Terutama terkait beberapa muatan utama UU 14/2008.
Pertama, hak warga negara atas informasi publik yang musti dipenuhi oleh Badan Publik, seperti: informasi yang wajib disediakan dan diumumkan secara berkala (pasal 9 UU KIP, pasal 11 PERKI SLIP); informasi publik yang wajib diumumkan secara serta merta (pasal 10 UU KIP, pasal 12 PERKI SLIP), dan informasi publik yang wajib tersedia setiap saat (pasal 11 UU KIP, pasal 13 PERKI SLIP).
Kedua, jaminan bahwa keterbukaan tidak merugikan kepentingan negara (pasal 17 huruf a, c, d, f, dan i), bisnis (pasal 17 huruf b, d, dan e), dan pribadi (pasal 17 huruf g dan h). Sebab semua kepentingan tersebut (negara, bisnis, pribadi) tersebut masuk ke dalam informasi dikecualikan.
Ketiga, mengajak warga bersama menangkal hoax sebagaimana amanah UU agar Badan Publik wajib menyediakan informasi publik yang akurat, benar, dan tidak menyesatkan (Pasal 7 ayat 1).
Hari Hak untuk Tahu (Right to Know Day) di masa pandemi musti menjadi penanda lahirnya ragam inovasi untuk menyadarkan hak individu untuk mengakses informasi publik. Semata demi memberikan hak masyarakat untuk mengembangkan diri dan meningkatkan kualitas hidup di tengah situasi yang tidak mudah ini.