Oleh: Arianto Persada
Ketua AKSI Pro-Demokrasi dan Kebijakan Publik
TRIBUNNEWS.COM - Menyingkap pemberitaan pandemi Covid-19 dan resesi ekonomi semakin marak menghiasi sejumlah media cetak dan online.
Mereka mengkritisi proses penanganan pandemi dan resesi ekonomi yang dinilai gagal.
Sebut saja, kelompok aktivis, pengamat ekonomi dan elit politik bersuara lantang dan mendesak Erick Tohir Mundur, baik selaku ketua pelaksana penanggulangan pandemi, ketua pelaksana PEN maupun sebagai menteri BUMN.
Pasalnya, mereka mengkritis secara emosional konfrontatif dan tak paham rumitnya penanganan wabah dan resesi ekonomi.
Ditambah munculnya isu kerugian Pertamina Rp 11,13 triliun yang disuarakan Komisaris utama Pertamina Ahok, terkesan BUMN salah kelola dan Pertamina pun gaduh.
Baca: Erick Thohir Bongkar Susunan Direksi dan Komisaris PNM
Tak hanya itu, persoalan merambah ke rangkap jabatan direksi/komisaris yang dianggap menghamburkan uang, dan terakhir mendesak Erick Tohir sebagai ketua pelaksana Penyelamataan Ekonomi Nasional (PEN), ketua pelaksana penanggulangan Pandemi Covid-19, dan menteri BUMN dinilai tidak memiliki kecakapan.
Saya menilai, sebuah kekeliruan cara pandang aktivis, penggiat ekonomi dan elit politik akibat dilusi dan depresi secara psikis ketika pandemi Covid-19 ini tak kunjung usai.
Perlu diketahui Pertamina rugi Rp 11,13 triliun karena Pemerintah tak bayar utang.
Pada kuartal I, pemerintah harus menggelontorkan uang triliunan untuk menanggulangi pandemi Covid-19 dan merespon kontraksi perekonomian.
Apabila piutang Pemerintah Indonesia yang mencapai Rp 45 triliun bulan Desember 2019 dibayarkan, tentu Pertamina tidak merugi Rp 11,13 triliun.
Pasalnya, Desember 2019 cashflow Pemerintah tidak ada, jadi tidak bisa bayar utang ke Pertamina.
Kini, sebaliknya pertamina mendapat dana kompensasi dari Pemerintah sebesar Rp 45 triliun dalam rangka menjalankan program pemulihan ekonomi nasional (PEN), praktis penugasan khusus Pertamina yang diminta pemerintah telah dipenuhi secara baik termasuk, biaya operasional yang dikeluarkan dan marginnya telah dibayarkan Pemerintah, maka ribut-ribut soal utang Pertamina menjadi isapan jempol belaka.
Tak cuma itu, aktivis pun keliru dalam merespon dinamika perubahan ekonomi, mereka tak mampu membaca aspek fenomena dan aspek nomina secara baik dan substansial.