OLEH : RUSYAD ADI SURIYANTO, Lab Biopaleoantropologi FKKM UGM
INDONESIA telah mencatatkan tinta emas untuk seorang pionir Eugène Dubois. Eugène Dubois dilahirkan pada 28 Januari 1858 di Kota Eijsden, Belanda.
Sejak masa anak-anak, beliau sudah sangat tertarik pada sejarah alam – sebenarnya minat ini hasil enkulturasi ayahnya.
Beliau telah belajar ilmu kedokteran dan lulus sebagai dokter pada tahun 1884. Dua tahun kemudian beliau telah diangkat sebagai dosen anatomi di Universitas Amsterdam, dan selanjutnya menikah di tahun yang sama.
Baca juga: Teknologi Komputer Tiga Dimensi Bisa Munculkan Sosok Manusia Purba Secara Akurat
Baca juga: Apakah Manusia Purba Jawa Sudah Mampu Berbahasa?
Setahun berlalu, dan jenuh dengan pekerjaannya sebagai dosen anatomi terutama tugas mengajar, tiba-tiba obsesi lamanya tidak mampu untuk dibendung, yakni berkeinginan untuk membuktikan hasil penelitian dan teori evolusi Charles Darwin, Alfred Russel Wallace dan Ernst Haeckel.
Eugène Dubois memutuskan untuk pergi ke Hindia Belanda (Indonesia) dengan membawa keinginan kuatnya untuk mencari fosil-fosil nenek moyang manusia.
Eugène Dubois berargumentasi manusia tentu bermula di daerah tropis karena anggota primata masih banyak hidup, dan wilayahnya tidak banyak mengalami perubahan-perubahan iklim sepanjang masa.
Eugène Dubois juga berobsesi manusia terkait erat dengan owa (Hylobates sp) yang terdapat di Indonesia.
Sebuah fosil kera (Ramapithecus) yang telah ditemukan di India juga turut mendorong obsesinya itu Asia akan menjadi tempat yang menjanjikan untuk mencari fosil-fosil leluhur manusia.
Indonesia yang merupakan sebuah koloni Belanda waktu itu tentu merupakan prioritas utama untuk tinggal dan bekerjanya.
Siasatnya adalah bergabung dengan tentara Belanda sebagai dokter tentara. Bersama istri dan bayinya tiba dengan kapal SS Princess Amalia di Pelabuhan Teluk Bayur, Padang, Sumatera Barat, pada Desember 1887.
Waktu luang dari tugas-tugas medisnya, merupakan kesempatan bekerja untuk mencari fosil-fosil leluhur manusia yang diidam-idamkan sebagai tujuan awal ke negeri ini.
Kesempatan awal yang menjanjikan telah datang, kebijakan Pemerintah Hindia Belanda membebaskan tugas-tugas medisnya, dan menugaskan untuk penyelidikan-penyelidikan paleontologis di bawah wewenang Departemen Pendidikan, Agama dan Keterampilan.
Penelitian paleontologis Eugène Dubois dibantu dua insinyur pemerintah Belanda, dan 50 narapidana Bumiputera sebagai tenaga kerja paksa.
Tujuan pertama adalah menggali gua-gua di kawasan Sumatera Barat, khususnya di sekitar Payakumbuh.
Obsesinya itu berdasarkan pengetahuan awalnya gua-gua banyak menghasilkan fosil-fosil sisa manusia purba seperti di Eropa.
Ternyata penelitiannya itu tidak menunjukkan prospek sangat menggembirakan karena hanya menemukan tulang-tulang subresen, termasuk sisa-sisa osteologis dan odontologis orang utan.
Boleh jadi, aktifitas itu, walau masih jauh dari harapannya, dapat disebut sebagai awal penelitian paleoprimatologis di Indonesia.
Salah satu gua itu adalah Lida Ajer, yang menghasilkan temuan gigi yang tidak pernah diduga sebelumnya.
Baru belakangan ini koleksi itu mendapatkan perhatian kembali untuk diteliti ulang, baik morfologis maupun pertanggalan in situ oleh beberapa ahli Indonesia, Belanda dan Australia.
Ternyata yang mengejutkan koleksi itu ada yang berupa sebuah gigi Homo sapiens. Ternyata kejutan itu masih berlanjut, yakni kedua gigi itu berasal dari masa 73.000 – 63.000 tahun yang lalu.
Berita gembira yang ditunggu Eugène Dubois datang juga. CPh Sluiter dari Koninklijke Natuurkundige Vereniging in Nederlandsch-Indië (Perhimpunan Ilmu Alam Kerajaan Hindia Belanda) mengabarkan penemuan sebuah subfosil manusia di wilayah pertambangan marmer di kawasan Wajak, Campurdarat, Tulungagung, Jawa Timur.
Subfosil itu telah ditemukan seorang ahli geologi Belanda BD van Rietschoten yang bekerja di sana pada 24 Oktober 1888 seperti yang tertulis dalam suratnya yang bertanggal 31 Oktober 1888 kepada CPh Sluiter.
Surat itu telah dibacakan dalam pertemuan Koninklijke Natuurkundige Vereniging in Nederlandsch-Indië pada 13 Desember 1888.
Surat itu juga menjelaskan tentang tengkorak yang ditemukan tatkala sedang melakukan penambangan marmer rutin di kawasan Wajak tersebut.
Pada 21 Desember 1888, CPh Sluiter menulis surat kepada Eugène Dubois yang masih melakukan penyelidikan di Sumatera Barat atas temuan tersebut.
Surat tersebut juga menjelaskan kondisi temuan itu yang sangat menyedihkan karena hanya berupa kepingan-kepingan tengkorak.
Dalam pertemuan Koninklijke Natuurkundige Vereniging in Nederlandsch-Indië berkutnya pada 11 April 1889, CPh Sluiter membacakan reaksi Eugène Dubois atas kondisi tersebut.
Selama seminggu penuh Eugène Dubois bekerja keras untuk menyatukan kepingan-kepingan itu menjadi tengkorak utuh seperti masih dapat disaksikan sampai sekarang.
Reaksinya juga merekomendasikan lebih baik B.D. van Rietschoten dan penduduk di sekitar wilayah temuan tersebut untuk tidak melanjutkan aktifitasnya sampai ada ahlinya.
Reaksi positif diapresiasikan kepadanya atas betapa sangat berharganya temuan tersebut, dan menindaklanjuti dengan menghentikan aktifitas penambangan marmernya.
Peristiwa itu telah mengubah orientasi wilayah penelitian Eugène Dubois, dari Sumatera Barat menuju khususnya ke lokasi temuan manusia Wajak tersebut, dan secara umum Jawa.
Beberapa tahun berikutnya, temuan-temuan ini telah diidentifikasi sebagai Homo sapiens yang berantikuitas sekitar 40.000 tahun yang lalu, dan dianggap semasa dengan temuan di Gua Niah (Serawak, Malaysia); namun sekarang, pertangggalan absolutnya hanya 6.560 – 10.560 Sebelum Tarikh Masehi.
Sebenarnya pandangan awal pernah diutarakan Eugène Dubois, manusia Wajak ini mengesankan secara garis besar jauh dari karakteristik “tipe Melayu” (Malay type), namun mendekati karakteristik “tipe Papua” (Papuan type).
Temuan-temuan ini tetap sangat penting karena merupakan temuan Homo sapiens yang tertua di Indonesia saat itu.
Bukti-bukti arkeologisnya makin menegaskan temuan ini berasal dari situs kubur Mesolitik (Pleistosen Akhir – Holosen Awal).
Beberapa ahli telah menduga nanusia Wajak ini beras Australomelanesoid, yang terus mengalirkan gen-gennya melalui migrasi ke wilayah bagian selatan Jawa Timur, dan terus ke situs-situs gua Flores, Timor, dan mencapai Australia.
Pemaparan Manusia Wajak juga telah dihubungkan dengan temuan-temuan Homo sapiens awal di Gua Niah (Serawak, Malaysia) dan Daratan Cina, khusunya Liujiang.
Upaya lain juga telah dilakukan oleh beberapa penganut multiregional evolution yang mengajukan adanya continuous lineage dari Pithecanthropus (Homo) erectus via Solo dan Wajak sampai manusia resen Australia.
Oleh karena itu, temuan manusia Wajak tersebut menjadi objek spekulasi banyak para ilmuwan untuk menghubungkan dengan temuan-temuan hominid yang lebih tua dan manusia modern beserta lingkungan, kebudayaan dan migrasinya.
Eugène Dubois tiba dan memulai aktifitas ekskavasi di Wajak pada 9 Juni 1890. Dalam tahun yang sama di ujung September, Manusia Wajak yang kedua ditemukan walaupun relatif fragmenter dan terbalut matriks kerasnya.
Beliau tercengang, seperti mengingatkan kembali kepada temuan sebelumnya, ternyata memang temuan ini berkarakteristik morfologis sama.
Dalam bulan berikutnya – Oktober – ditemukan sisa-sisa rangka hampir lengkap seorang manusia di sebuah ceruk, bersama fragmen-fragmen beragam mamalia.
Pemetaan ekskavasi ini telah dikerjakan oleh asistennya, de Winter. Koleksi Wajak ini yang juga meliputi temuan-temuan dari situs Gua Jimbe, Gua Hoekgrot dan Gua Kecil, telah diteliti ulang sebagai penelitian disertasi oleh Paul Storm, dan diterbitkan sebagai “The Evolutionary Significance of the Wajak Skulls” (1995) oleh Nationaal Natuurhistorisch Museum, Leiden.
Belakangan pada tahun 2013 pertanggalan temuan Wajak itu diteliti ulang oleh Paul Storm dan kolega-koleganya, dan menghasilkan antikuitas yang merujuk umur minimal 28,5 – 37,4 ribu tahun yang lalu.
Jacob mengusulkan bahwa peristiwa awal ekskavasi di Wajak pada 9 Juni 1890 oleh Eugène Dubois ini dapat dianggap sebagai permulaan penelitian paleoantropologis di Indonesia.(*)
*) Mengenang Prof Dr T Jacob MS MD DSc, Pionir dan begawan paleoantropologi Indonesia (6 Desember 1929–17 Oktober 2007)