OLEH: Tubagus Adhi
SAYA tak mengenal Agung Firman Sampurna. Saya hanya mengetahuinya sebagai orang nomor satu di Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), institusi yang berperan dalam penilaian pengelolaan keuangan negara.
Pekan silam, tepatnya 6 November, ia ditetapkan secara aklamasi untuk menduduki kursi "PBSI I", sebagai pengganti Wiranto.
Agung Firman Sampurna, kelahiran Madiun 19 November 1971, merebut kepemimpinan PP PBSI di tengah kekecewaan besar dari klub Djarum yang selama ini mendominasi pemain di pelatnas.
Djarum disebut-sebut condong memberikan dukungannya pada kandidat lain.
Mungkinkah Djarum akan memboikot perekrutan pemain ke pelatnas?
Kalau Pak Try Sutrisno mendengarnya, beliau pasti akan marah. "Tidak mungkin," itu juga yang akan ditegaskannya.
DI antara banyak nama yang pernah tercatat sebagai "petinggi" di kepengurusan Persatuan Bulu tangkis Seluruh Indonesia (PBSI), yang saya kenal baik, tentu Pak Try Sutrisno yang paling berkesan. Ia layak ditempatkan di urutan teratas.
Di urutan berikutnya adalah Ir. Aburizal Bakrie. Lalu, Ir.Justian Suhandinata.
Mereka bertiga layak untuk selamanya dikenang jika kita bicara soal pengembangan bulu tangkis Tanah Air. Rasanya itu juga berkorelasi dengan pencapaian prestasi di pentas dunia.
Pak Try, Pak Ical dan Bang Justian dalam masa pengabdiannya selama 10 tahun, pada dua periode kepengurusan (1985-1989 & 1989-1993) berjasa besar karena menorehkan banyak catatan atau peninggalan bersejarah.
Dana abadi. Itu yang pertama. Gedung Pusat Bulu tangkis Indonesia (PBI). Yang kedua, yang tak kalah monumentalnya.
Lalu, tentu tak bisa dilupakan bagaimana mereka semakin memberikan dimensi lebih pada program pembinaan, dengan mewujudkan kepercayaan besar kepada para pemain dari berbagai klub untuk bergabung di pelatnas. Inilah yang memulai persemaian prestasi dari seluruh strata pembinaan, baik dari pelatnas utama atau pratama.
Intinya, klub coba diberi peranan lebih besar.