Oleh : Amriyono Prakoso, Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Politik Universitas Indonesia
TRIBUNNEWS.COM - Jelang Pemilihan Kepala Daerah ( pilkada) serentak di 270 daerah yang akan dilaksanakan pada 9 Desember 2020, angka pasien positif Covid-19 mengalami lonjakan.
Jika dalam satu bulan ke belakang, angka pasien positif bertambah di rata-rata 3.000-4.000 pasien perhari, pada Jumat (13/11) lalu angka positif melonjak hingga 5.444 kasus.
Angka ini tentu bukan capaian yang baik untuk suatu negara yang akan menjalankan pesta demokrasi di tengah kondisi pandemi.
Baca juga: Pimpinan Pusat Hadiri Rakornis Pilkada dan Gerakan 3M yang Digelar KPPG dan AMPG Provinsi Riau
Kebijakan Tripartit antara pemerintah, DPR dan penyelenggara pemilu yang kekeuh untuk terus menyelenggarakan pemilihan kepala daerah, sudah menuai banyak pertentangan dari sejumlah kalangan, baik organisasi massa maupun akademisi.
Namun, hal ini tidak juga diindahkan meski setidaknya terdapat juga puluhan kepala daerah serta petugas pemilu daerah termasuk tiga komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI dinyatakan positif Covid-19 pada September 2020 lalu.
Memang bukan hanya Indonesia yang menyelenggarakan pesta demokrasi lima tahunan ini. Penyelenggaraan pemilihan juga dilakukan di sejumlah negara, termasuk Amerika Serikat salah satunya.
Negeri Paman Sam tersebut telah melaksanakan Pemilihan Umum untuk menentukan anggota parlemen dan presiden terpilih pada Selasa (3/11) kemarin.
Kekhawatiran baru dicetak oleh Amerika karena, berdasar pada catatan John Hopkins University pada Kamis (5/11) waktu setempat, tercatat 102.831 kasus positif Covid 19 baru dan 1.210 orang meninggal dunia dalam kurun 24 jam.
Baca juga: KPU Optimistis Pilkada Denpasar Tetap Berjalan Meski Seribu Anggota KPPS Reaktif Covid-19
Lonjakan angka positif Corona saat menyelenggarakan pemillihan juga terjadi di negara tetangga, Malaysia. Pilihan Raya Negeri (PRN) yang dilakukan di Sabah diduga menjadi pemicu melonjaknya angka positif Covid-19.
Pasalnya, pada Senin (5/10) sebanyak 432 kasus baru muncul dan sebagian besar berasal dari Sabah. Hal ini merupakan angka tertinggi penularan sejak Malaysia memberlakukan lockdown ketat pada awal Maret 2020.
Pilkada Serentak Sebagai Solusi?
Pilkada Serentak 2020, dikatakan oleh pemerintah melalui Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) merupakan satu dari sekian banyak kebijakan untuk penanganan Covid -19 di Indonesia.
Jelas mereka, pada saat penyampaian visi dan misi, calon kepala daerah mampu menjawab tantangan untuk penanggulangan penyebaran virus di daerahnya masing-masing. Sehingga masyarakat diharapkan mampu memilih kandidat yang memiliki pengetahuan dan kemampuan dalam masalah yang sedang dihadapi.
Baca juga: Bicara Protokol Kesehatan di DKI, Anies Singgung Pelaksanaan Pilkada di Daerah Lain
Hal serupa juga diungkapkan oleh Ketua DPR, Puan Maharani yang menjelaskan penanganan pandemi akan menjadi lambat jika Pilkada Serentak terus diundur.
Pasalnya, sebanyak 270 daerah akan dipimpin oleh pejabat pelaksana tugas (plt) yang tidak memiliki keterbatasan kewenangan dalam pengambilan keputusan strategis.
Jika itu alasan pemerintah, maka jelas hal ini tidak seperti yang digambarkan oleh pakar Ilmu Politik, Robert Dahl mengenai konsep demokrasi.
Dahl menguraikan lima kriteria mutlak dalam demokrasi. Pertama, persamaan hak pilih dalam menentukan keputusan kolektif yang mengikat.
Kedua, partisipasi efektif, yaitu kesempatan yang sama bagi semua warga negara dalam proses pembuatan keputusan secara kolektif.
Ketiga, pembeberan kebenaran, yaitu adanya peluang yang sama bagi setiap orang untuk memberikan penilaian terhadap jalannya proses politik dan pemerintahan secara logis.
Keempat, kontrol terakhir terhadap agenda, yaitu adanya kekuasaan ekslusif bagi masyarakat untuk menentukan agenda mana yang harus dan tidak harus diputuskan melalui proses pemerintahan, termasuk mendelegasikan kekuasaan itu pada orang lain atau lembaga yang mewakili masyarakat.
Kelima, pencakupan, yaitu terliputnya masyarakat mencakup semua orang dewasa dalam kaitannya dengan hukum. Sementara Pemilu bagi Samuel Huntington merupakan esensi dari demokrasi dan tujuan akhir untuk menghasilkan keputusan puncak.
Lebih jauh, kampanye secara daring sebagai salah satu aturan yang dilakukan pada Pilkada Serentak 2020, tidak banyak diminati oleh para pasangan calon kepala daerah.
Data hasil pengawasan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) RI pada 10 hari masa kampanye, hanya terdapat 39 Kabupaten/Kota atau 14 persen dari total daerah, yang menyelenggarakan Pilkada Serentak 2020 melakukan kampanye online.
Dalam analisis Bawaslu, beberapa hal yang menjadi alasan para calon kepala daerah yang bertarung di antaranya ; tidak terjangkaunya akses internet di daerah, keterbatasan penggunaan dan fitur di gawai masyarakat, serta kurangnya peminat untuk mengikuti kampanye secara virtual.
Padahal, dalam PKPU No 13 Tahun 2020 kampanye tatap muka sudah sangat dibatasi. Hasil temuan Bawaslu berikutnya, hingga medio Oktober 2020 pelanggaran protokol kesehatan (prokes) masih sebanyak 375 kasus, yang artinya ancaman penularan masih memiliki resiko besar di daerah penyelenggara Pilkada.
Baca juga: KPK Wanti-wanti Kepala Daerah di NTB Tak Gunakan Bansos untuk Pilkada
Oleh karenanya, Indonesia sebagai negara demokrasi, keputusan untuk mendahulukan pemilihan kepala daerah dibandingkan dengan ancaman kesehatan yang akan diterima oleh masyarakat selama masa kampanye dan pencoblosan tidak bisa dikatakan sebagai kebijakan yang solutif.
Terlebih, banyak dari kalangan organisasi masyarakat sipil dan organisasi massa besar di Indonesia, seperti PBNU dan Muhammadiyah yang meminta secara tegas penundaan Pilkada.
Mencoblos A La New Normal
Pemerintah, DPR dan penyelenggara pemilu sudah mengetok palu dan hari pencoblosan tidak lebih dari satu bulan. Niatan dari Presiden Joko Widodo untuk mengundur jadwal dengan menggunakan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) tampaknya akan menjadi masalah baru.
Apalagi, proses pilkada yang sudah berjalan begitu panjang dan anggaran yang sudah keluar, tidak dapat dihentikan secara serta merta.
Maka, ada baiknya penyelenggara pemilu bekerja sama dengan seluruh pihak terkait, terutama gugus tugas penanganan Covid-19 di setiap daerah untuk bekerja sama menghindari lonjakan angka pasien positif seperti yang terjadi di Malaysia dan Amerika Serikat.
Tenggat waktu pencoblosan, proses penghitungan surat suara, ruang terbuka untuk tempat pemungutan suara, pembatasan kerumunan calon pemilih, hingga ketersediaan tempat cuci tangan, juga kondisi petugas pemungutan suara harus benar-benar diperhatikan.
Scan suhu tubuh dan penggunaan masker serta face shield oleh calon pemilih juga tidak boleh luput dari pengawasan petugas.
Baca juga: Pengamat Prediksi Angka Partisipasi Pemilih di Pilkada Serentak 2020 Tak Sampai 50%
Hal ini tidak lain demi mewujudkan kondisi psikologis masyarakat yang bisa lebih tenang untuk melakukan pencoblosan terhadap kandidat kepala daerah.
Tanpa perlu rasa khawatir atas kesehatan bahkan masyarakat tidak perlu golput saat hari H sebagai alasan paling rasional hari ini. Sehingga, Pilkada sebagai pesta demokrasi bisa benar-benar dirasakan.