Gus Mis dan Diplomasi Moderasi NU: dari Nusantara Untuk Arab Saudi dan Dunia
Oleh: KH. Imam Jazuli, Lc., M.A*
TRIBUNNEWS.COM - Baru-baru ini politik dunia kita semakin memanas. Ketegangan di Laut China Selatan nyaris mempertemukan negara-negara adidaya seperti Eropa, Amerika, China, di medan laga. Tidak cukup di situ, Putri Mantan Diktator Irak Saddam Hussein, Raghad Saddam Hussein, muncul di televisi Al-Arabiya, sembari menyeret peran Arab Saudi dan Yordania, serta membuka peluang dirinya akan aktif dalam politik Irak. Kritik pedas publik Irak berhamburan dan banyak pihak menyayangkan penayangan acara televisi tersebut.
Dalam konteks kemanusiaan, peradaban adiluhung, dan perdamaian dunia, hari ini merupakan detik-detik krisis umat manusia. Hampir tidak ada negara adidaya yang patut dibanggakan dalam hal penegakan perdamaian. Beberapa hari yang lalu, negara-negara Barat yang vokal menyuarakan gerakan anti-nuklir mendapatkan cibiran dan ledekan dari Iran, ketika bungkam seribu bahasa atas sikap Israel yang terlihat memperluas fasilitas nuklir.
Peta geopolitik hari ini menunjukkan krisis keteladanan, tiada titik-titik dunia yang betul-betul aman dari konflik antar negara. Sekalipun medan laga berpusat di Asia, namun aktor-aktor yang terlibat hampir seluruh benua; Eropa dan Amerika. Hal ini mengingatkan kita pada kisah kolosal perang Mahabarata, Perang Dunia Satu dan Dua. Sekaligus menandai berakhirnya Perang Dingin dan detik-detik menuju Perang Bersenjata Jilid III.
Dalam konteks politik dunia semacam ini, penting kiranya menimbang Poros Global Indonesia, baik di tingkat Asia umumnya dan Timur Tengah khususnya. Timur Tengah memiliki posisi istimewa di mata Indonesia karena bukan sekedar untuk mengejar tujuan material-duniawi, seperti hubungan bilateral, perdagangan, ketenakerjaan. Lebih dari itu, Timteng adalah wilayah spiritual, khususnya Arab Saudi, bagi bangsa Indonesia yang mayoritas muslim.
Kemunculan Raghad Saddam Hussein yang menyeret Arab Saudi membutuhkan sikap politik dari Indonesia, setidaknya demi kepentingan dan tujuan nasional kita. Hal itu bisa kita wakilkan kepada Dubes Indonesia untuk Arab Saudi, dan karenanya diperlukan betul sosok yang memiliki kapasitas intelektual dan kekuatan politik untuk mewujudkan tujuan nasional, yang antara lain: merepresentasikan Indonesia sebagai potensi besar cita-cita dunia untuk mewujudkan Perdamaian Abadi.
Indonesia memiliki ormas besar, seperti Nahdlatul Ulama (NU), yang sedari awal mengusung spirit Islam Rahmatan Lil Alamin. Logo NU juga menyiratkan simbol bola dunia yang diikat oleh tali persaudaraan, yang membuat bumi kokoh dan tidak goyah. Ini bukan sekedar keyakinan primordial di kalangan internal NU melainkan pemerintah dapat bekerjasama dengan NU untuk kepentingan di tingkat global. Hemat penulis, kader NU yang berkualitas global tidak sedikit dan melimpah ruah, Gus Mis salah satu di antaranya.
Seingat penulis, ketika penulis mendapat amanah sebagai Ketua Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Cabang Mesir (1999), salah satu "think-thank" penulis adalah saudara Zuhairi Misrawi, salah satu kader terbaik Nahdlatul Ulama (NU) sekaligus PDIP. Zuhairi yang belakangan dikenal sebagai Gus Mis itu memang Istiqomah di PDIP sejak masih mahasiswa hingga sekarang.
Sejauh persahabatan dengan Gus Mis selama ini, penulis mencatat dua perkembangan pemikiran atau intelektualismenya. Pertama, periode Mesir. Kedua, periode Indonesia. Pada periode Mesir, Gus Mis mencita-citakan dua ideologi yang dikembangkan oleh Jamal Abdul Naser dan Ir. Soekarno. Pada periode Indonesia, yakni ketika Gus Mis telah pulang ke Tanah Air, berbagai dialog dengan penulis menunjukkan dirinya betul-betul mengagumi gagasan warga Nahdliyyin pada umumnya tentang Poros Global Moderasi Islam. NU mencerminkan satu-satunya leading sector dalam hal ini. Internasionalisme Ir. Soekarno menemukan pijakan kuat dalam Islam Rahmatan Lil Alamin ala NU.
Sebagai warga Nahdliyyin, penulis cukup puas melihat karakter Gus Mis, yang dari beberapa buku terbitannya di Kompas, terlihat kepakarannya dalam disiplin kajian Timur Tengah. Kegiatannya yang aktif di berbagai forum internasional menambah kualitas profesionalitas dirinya di kajian Timur Tengah. Semua ini menjadi kebanggaan warga Nahdliyyin, NU sekaligus PDIP. Tidak berlebihan bila sosok Gus Mis menjadi Duta Besar Indonesia untuk Arab Saudi, satu negara yang hari ini tepat berada pada jantung konflik Timur Tengah khususnya dan medan internasional pada umumnya.
Indonesia butuh mencitrakan diri di tingkat global, sebagai satu-satunya negara yang masih bisa diharapkan untuk menegakkan kualitas kemanusiaan, yang makin hari makin keropos oleh erosi ambisi dan peperangan. Indonesia dapat menjadi teladan bagi dunia bagaimana cara membangun peradaban sejati, bukan semata mengejar prestasi material dan teknologi yang jauh dari nilai-nilai kemanusiaan. Supaya prestasi material yang telah diraih tidak malah menghancurkan kemanusiaan dan peradaban itu sendiri.
Selain hal urgen diatas, yang membuat Gus Mis memang layak mendapatkan amanah menjadi calon Dubes Saudi adalah karena jejaknya yang menonjol untuk meneladani ketokohan Gus Dur dalam membela dan 'menemani' minoritas, bahkan jejak itu tidak saha ia perjuangkan di forum-forum nasional, tapi juga internasional.
Hal itu ia lakukan kepada mereka, karena menurut Gus Mis, meraka kesulitan memberikan pembelaan terhadap dirinya sendiri, bahkan mereka terus tertindas dan mengalami minorisasi atau marjinalisasi, dan terdiskriminasi. Dengan kalimat lain, mereka merasa terbuang dari status sosial-kemanusiaan di negeri yang telah dijamin kebhenikaannya ini.
Adapun contoh kongkret kelompok minoritas yang banyak mendapat diskrimniasi, kekerasaan dan sebagainya seperti Syiah, Ahmadiyah, dan Aliran Sabdo Palon.
Karena itu, bagi penulis, apa yang telah dilakukan Gus Mis, terkait pembelaannya terhadap minoritas, mengandung suatu resiko yang besar dan diperlukan suatu keberanian serta kebesaran hati yang luar biasa. Posisinya tersebut, akan rentan membuat dirinya terkena stigma sebagai orang yang negatif, seperti liberal, sesat dan pengkhianat. Sehingga posisi Gus Mis sangat resistensi disalah pahami.
Berkaca pada pemaparan di atas, tentu kita akan memahami bahwa memilih posisi untuk melakukan pembelaan terhadap minoritas sebagaimana yang pernah dilakukan Gus Dur itu resikonya sangat berat. Padahal, melakukan pembelaan terhadap minoritas, bukan berarti ia menyepakati doktrin atau ajaran dalam kelompok minoritas tersebut, melainkan lebih karena alasan-alasan kemanusiaan, sejalan dengan ajaran agama. Yang tidak kalah penting, sesuai dengan konstruksi demokrasi yang sudah disepakati menjadi sistem politik bagi republik ini.
Selain itu, tak dipungkiri belakangan adanya fakta, bahwa kelompok minoritas rentan mengalami diskriminasi dan terpapar oleh kekerasaan tentu tidak bisa kita abaikan. Menemani minoritas merupakan pembelaan terhadap perjuangan minoritas dalam merengkuh hak-haknya sebagai warga negara. Akhir kalam, pilihan Jokowi untuk memilih Gus Mis menjadi Dubes RI untuk Saudi sudah sangat tepat. Selamat menjalankan tugas berat, sahabat!.
*Pengasuh Pondok Pesantren Bina Insan Mulia Cirebon.