Kekhasan ilmu tasawuf yang berbeda dari fikih sekaligus akidah adalah subsistem ketiga, Ihsan. Pengertian Ihsan berdasarkan hadits Muslim di atas:
أن تعبد الله كأنك تراه فإن لم تكن تراه فإنه يراك
"Hendaknya engkau menyembah Allah seakan-akan engkau melihat-Nya, jika tidak maka Allah melihatmu." Pada akhirnya, ini wilayah kajian tentang hati manusia yang mampu beribadah sesuai syariat sekaligus seakan-akan mampu melihat Allah SWT. Alhasil, seorang Sufi dan Salik pasti memperkuat ilmu syariat (fikih) dan akidah sebelum masuk ke ranah Ihsan atau hakikat.
Pendapat Abdul Wahab asy-Sya’rani, mengatakan, “tarekat yang ditempuh kaum ini (sufi) dilandaskan pada al-Quran dan Sunnah, seperti memurnikan emas dan permata, maka para penempuh tarekat (salik) haruslah menimbang segala gerak dan diamnya dengan timbangan syariat.” (Abdul Wahab asy-Sya’rani, Lathaiful Minan wal Akhlaq, juz 1: 2).
Alhasil, ilmu tasawuf yang menjadi pegangan para Salik, penempuh jalan spiritual Islam, tetap berlandaskan pada al-Quran dan Sunnah.
Selanjutnya, kesalahpahaman publik awam tentang tarekat dan tasawuf adalah tentang hubungannya dengan duniawi. Banyak orang berpikiran, mereka yang berkomitmen menjalankan tarekat pastilah orang-orang yang telah kalah bersaing dalam urusan duniawi; atau, tarekat dan tasawuf hanya cocok bagi orang-orang tua renta yang sudah mendekati akhir hayatnya, sehingga sepantasnya ingat mati dan mempersiapkan diri bagi kehidupan akhirat.
Ajaran al-Quran tidaklah seperti anggapan miring tersebut. Allah Swt berfirman: “dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu, negeri akhirat. Dan janganlah kamu melupakan bagianmu dari duniawi. Berbuat baiklah sebagaimana Allah berbuat baik bagi dirimu. Dan janganlah membuat kerusakan di muka bumi,” (Qs. Al-Qashash: 77).
Rasulullah Saw bersabda:
أَنْتُمْ أَعْلَمُ بِأَمْرِ دُنْيَاكُمْ
“Kalian lebih mengetahui urusan dunia kalian,” (HR. Muslim, 4358). Hadits ini berkenaan dengan saran Rasulullah saw agar para petani buah kurma tidak mengawinkan mayangnya, karena menurut Nabi akan lebih baik. Namun, setelah tiba musim panen, hasilnya buruk. Saat mengetahui saran tersebut tidak mujarab, Nabi bersabda demikian, menegaskan bahwa untuk urusan duniawi, Nabi tidak lebih mengetahui dari orang kebanyakan.
Dalam konteks yang senada, sufis besar, Abu Yazid al-Busthami, mengatakan begini, “seorang Sufi adalah dia yang menggenggam al-Quran di tangan kanannya, Sunnah Rasul di tangan kirinya, mata yang kanan memandang surga, mata yang kiri memandang neraka, mengenakan pakaian dunia, berselendangkan selendar akhirat, serta di antara keduanya mengucapkan talbiyah: labbaikallahumma labbaik!”(Abdurrahman al-Badawi, Syathahat al-Shufiyah, 96).
Pernyataan Abu Yazid di atas ini dapat diartikan sebagai keseimbangan dunia-akhirat dengan tetap bersandar pada al-Quran dan Sunnah. Inilah perilaku kaum Sufi di dunia ini.
Setelah basis ontologis dan epistemologis bagi ilmu pengetahuan kaum sufi (tasawuf) jelas-jelas berpijak pada al-Quran dan Sunnah, hal yang tidak kalah penting lainnya adalah tentang perilaku lahiriah para Sufi dan Salik yang menempuh Tarekat. Sebab, kaum Sufi merasa tidak cukup hanya dengan memberikan penjelasan melalui kata-kata. Kaum Sufi menginginkan seluruh murid dan santrinya yang sedang menempuh jalan Allah (Salikin) agar tahap demi tahap seluruh hidupnya dicurahkan untuk mendaki tangga spiritual. Hari demi hari terus mendekat pada Allah, dan tidak berharap tergelincir sedetikpun.
Secara garis besar, ada lima tahapan penting yang harus dilalui oleh semua Salik (penempuh tarekat); ilmu yang diamalkan, menjalin persahabatan, mujahadah diri, zikrullah, dan khalwat. Pertama-tama, kaum Sufi maupun Salik meyakini bahwa ilmu tidak bisa dipisahkan dari amal. Seorang Salik harus memulai dari belajar ilmu akidah untuk meluruskan keyakinannya pada Allah, ilmu fikih untuk membenarkan dalam ibadah maupun mualamat bersama orang lain, dan di tengah-tengah itu semua ia harus belajar ilmu tentang hati (‘ilm ahwal al-qalb), akhlak yang baik, serta membersihkan hati dari kotoran pikiran (tazkiyat an-nafs). Semua pengetahuan itu diterjemahkan dalam laku. Ilmu tasawuf tidak cukup kecuali untuk diamalkan. (Abdul Qadir Isa, Haqaiq ‘an al-Tashawwuf, 79).