Mengamalkan ilmu banyak godaan. Sering kali Salik gagal mengamalkan ilmu karena tidak bersama teman seperjuangan. Untuk itulah, kaum Sufi memandang pentingnya nilai persaudaraan spiritual (ash-Shuhbah). Ada banyak dalil tentang pentingnya beriman dan bertakwa kepada Allah secara berjamaah. Allah swt berfirman: “wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah keapda Allah dan jadilah kalian bersama orang-orang yang jujur, shadiqun” (Qs. At-Tawbah: 119).
Berjuang bersama-sama di jalan spiritual sedikit membantu seseorang dalam menghadapi godaan. Rasulullah saw bersabda:
إنَّ اللَّهَ يَرْضَى لَكُمْ ثَلاثًا، ويَكْرَهُ لَكُمْ ثَلاثًا، فَيَرْضَى لَكُمْ: أنْ تَعْبُدُوهُ، ولا تُشْرِكُوا به شيئًا، وأَنْ تَعْتَصِمُوا بحَبْلِ اللهِ جَمِيعًا ولا تَفَرَّقُوا
“Allah ridha tiga perkara untuk kalian dan benci tiga perkara; 1) Allah ridha kalian menyembah-Nya, 2) tidak menyekutukan-Nya dengan apapun, dan 3) kalian berpegang teguh pada tali (agama) Allah dan tidak bercerai berai” (HR. Muslim, 1715). Bersama-sama menjalankan agama Allah adalah prinsip persaudaraan yang hendak dibangun oleh para Sufi dan Salik, para pengamal tarekat. Abu Hamid al-Ghazali mengatakan, “hal wajib yang harus dimilik oleh seorang Salik di jalan kebenaran Tuhan adalah hendaknya ia memiliki mursyid atau murabbi yang akan menunjukkannya ke jalan yang ebnar, menghilangkan akhlak tercela, dan megajarinya akhlak yang terpuji.” (Al-Ghazali, Khalashah fi al-Tashawwuf, 18)
Setelah Persaudaraan dan komunitas terbangun, amaliah pengamal tarekat berikutnya adalah mujahadah diri, olah batin, olah rasa. Sufi dan Salik mencurahkan seluruh tenaga, fikiran, dan waktu untuk melawan hawa nafsu dan hasrat batin yang tercela, dengan cara mengerjakan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya. Allah Swt berfirman: “dan orang-orang yang berjihad di jalan Kami, niscaya Kami akan tunjukkan ke jalan-jalan Kami,” (Qs. Al-‘Ankabut: 69). Rasulullah saw bersabda:
اَلْمُجَاهِدُ مَنْ جَاهَدَ نَفْسَهُ فِي اللهِ
“seorang mujahid itu adalah orang yang berjihad melawan dirinya di jalan Allah,” (HR. at-Tirmidzi). Tentang pentingnya mujahadah diri semacam ini, Abu Utsman al-Maghribi mengatakan, “barang siapa yang berpikir dirinya mendapat pencerahan atau mengalami penyingkapan batin tentang sesuatu tanpa disertai mujahadah sebelumnya, maka ia telah jatuh ke jurang kesalahan.” (Abu Qasim al-Qusyairi, al-Risalah al-Qusyairiyah, 48-50).
Perjuangan setiap individu untuk membersihkan hati dan pikirannya, agar lahir perilaku sosial sehari-hari yang terpuji, ditempuh dengan banyak berzikir pada Allah (dzikrullah). Zikir itu menurut Imam Ibnu Atha’ as-Sakadari, pengarang kitab al-Hikam yang terkenal, adalah melepaskan diri dari jeratan lupa dengan menghadirkan Tuhan terus-menerus di dalam hati. Bisa juga menyebut nama Allah dengan hati dan lidah, mengingat sifat-sifat mulia Allah, hukum-hukum Allah, perbuatan-perbuatan Allah, dan cara lain yang bisa digunakan untuk mendekatkan diri pada Allah. (Ibnu Athaillah as-Sakandari, Miftahul Falah wa Misbahul Arwah, 4).
Terakhir, amaliah yang banyak dilakukan kaum sufi dan salik, pengamal tarekat, adalah khalwat. Pengertian khalwat di sini adalah memutus hubungan dengan manusia dalam jangka waktu tertentu, meninggalkan segala amaliah duniawiah dalam jangka waktu singkat, supaya hati terbebas dari keinginan-keinginan hidup yang tidak pernah tuntas, mengistirahatkan pikiran dari kesibuhan sehari-hari, kemudian mengisi hati dengan dzikrullah (Abdul Qadir Isa, Haqaiq ‘an al-Tashawwuf, 162).
Amaliah Khalwat ini berlandaskan pada firman Allah swt: “sebutlah nama Tuhanmu dan beribadahlah sepenuh hati,” (Qs. Al-Muzammil: 8), juga pada Hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dari Aisyah ra., bahwa Rasulullah saw suka berkhalwat di Gua Hira. Penjelasan ini ada pada Bab Kaifa Kana Bad’ul Wahyi ila Rasulillah.
Secara umum, tarekat sebagai jalan menuju Allah swt adalah metode menerjemahkan al-Quran dan Sunnah ke dalam perilaku. Tidak ada amaliah dalam tarekat maupun laki spiritual para Salik yang melanggar syariat agama. Kesalahanpahaman publik awam tentang tarekat sering kali muncul dari fenomena sosial tatkala melihat sebagian orang yang mengaku mengamalkan tarekat namun lahiriahnya tampak tidak mengerjakan syariat formal. Namun begitu, prinsip dasarnya, ilmu tasawuf yang menjadi pegangan kaum Sufi bersumber dari al-Quran dan Sunnah, sebagaimana keilmuan dalam Islam pada umumnya, semisal ilmu akidah dan ilmu fikih.
*Pengasuh Pondok Pesantren Bina Insan Mulia Cirebon.
Wallahu a’lam bis shawab.
Daftar Pustaka
Abdul Qadir Isa, Haqaiq ‘an al-Tashawwuf, Aleppo: Dar al-Irfan, 2001.
Abdul Wahab asy-Sya’rani, Lathaiful Minan wal Akhlaq, Mesir: al-Mathba’ah al-Maymaniyah, 1903.
Abdurrahman al-Badawi, Syathahat al-Shufiyah, Kuwait: Wikalah al-Mathbu’at, 1949.
Abu Abdurrahman as-Salami, Thabaqat as-Shufiyah, Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiah, 1998.
Abu Qasim al-Qusyairi, al-Risalah al-Qusyairiyah, Kairo: Dar Jawami’ al-Kalim, 2007.
Ahmad bin ‘Ajibah, Iqazh al-Himam Syarh Matn al-Hikam, Kairo: Dar al-Ma’arif, 1983.
Al-Ghazali, Khalashah al-Tashanif fi al-Tashawwuf, Mesir: Mathba’ah al-Najah, 1909.
At-Thabari, Tafsir ath-Thabari, Beirut: Muassasah ar-Risalah, 1994.
Ibnu Athaillah as-Sakandari, Miftahul Falah wa Misbahul Arwah, Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiah, 2001.
Ibnu Katsir, Tafsir Ibni Katsir, Riyadh: Dar Thayyibah, 1999.