Dasar-dasar pokok ilmu pengetahuan kaum Sufi ini sering disalahpahami oleh publik awam. Sebagian orang yang penuh kebencian pada ilmu tasawuf dan jalan Tarekat menuduh yang bukan-bukan. Abul Hasan asy-Syadzili, pendiri tarekat Syadziliyah, menasehati murid-muridnya dan para pelaku tarekat (Salik), “jika ilmu yang engkau dapatkan melalui jalur penyingkapan batin (kasyf) dan kemudian bertentangan dengan al-Quran dan Sunnah maka amalkanlah al-Quran dan Sunnah itu, serta tinggalkanlah hasil penyingkapan batin tersebut.” (Ahmad bin ‘Ajibah, Iqazh al-Himam Syarh Matn al-Hikam, 2/302-303).
Semua pernyataan tegas para sufi besar di atas adalah pedoman dasar bagi publik awam untuk mengenal hakikat tarekat dan ilmu tasawuf. Tarekat dapat pula diibaratkan sebagai sebuah kendaraan yang digunakan menuju tujuan tertentu. Sedangkan ilmu tasawuf ibarat menu panduan bagaimana cara mengoperasikan dan mengendara dengan baik dan benar supaya selamat sampai tujuan. Satu-satunya menu dan pedoman yang terjaga kebenarannya adalah al-Quran dan Hadits.
Abul Husain al-Warraq mengilustrasikan seorang Salik yang akan selamat dalam perjalanannya, “seorang hamba tidak akan pernah sampai kepada Allah kecuali dengan/melalui Allah dan mengikuti jejak kekasih Allah dalam urusan syariat. Barang siapa yang membuat jalannya sendiri pada Allah tanpa mengikuti al-Quran dan Sunnah maka ia sesat pada saat sudah yakin dirinya mendapat hidayah.” (as-Salami, Thabaqat as-Shufiyah, 300).
Persoalan lain yang membuat tarekat dan ilmu tasawuf ini sejajar dengan ilmu fikih dan ilmu akidah adalah cara ulama Sufi dalam memeras inti sari al-Quran dan Sunnah secara sangat hati-hati, detail, dan mendalam. Sejak zaman Rasulullah hingga zaman kita sekarang, al-Quran dan Sunnah tidak berkurang dan tidak bertambah satu hurufpun. Namun, kajian ilmu fikih, misalnya, terus dinamis sepanjang waktu, lantaran ijtihad fuqaha’ (ahli fikih) dalam menghayati kandungan al-Quran Sunnah.
Hubungan antara ilmu tasawuf dan suluk tarekat sangat dekat. Salah satu pendapat yang patut diingat di sini adalah ucapan Imam Malik bin Anas Ra., Pendiri Mazhab Maliki, yang mengatakan:
“Barangsiapa yang bertasawuf tanpa Ilmu Fiqih, maka dia disebut zindiq (orang yang pura-pura beriman), dan barangsiapa yang mendalami Ilmu Fiqih tanpa bertasawuf maka dia disebut fasiq. Barangsiapa yang menyeimbangkan antara keduanya maka dialah ahli haqîqat yang sesungguhnya," (al-Futûhât al-Ilâhiyyah fî Syarhi al-Mabâhits al-Ashâliyyah, halaman: 64).
Bentuk lain kedekatan ilmu fikih dan tasawuf adalah struktur epistemologi ilmu tasawuf yang menjadikan ilmu fikih sebagai sub-sistemnya. Hal itu terlihat dari pembagian tiga pilar agama: syariat, tarekat, dan hakikat. Pembagian semacam ini terkenal sejak ada riwayat hadits dari Umar bin Khattab ra, tentang malaikat Jibril as yang tiba-tiba datang dan menanyai Nabi Saw tentang arti Islam, Iman, dan Insan.
وقال: يا محمد أخبرني عن الإسلام. قال : الإسلام أن تشهد أن لاإله إلا الله وأن محمدا رسول الله وتقيم الصلاة وتؤتي الزكاة وتصوم رمضان وتحج البيت إن استطعت إليه سبيلا. قال: صدقت
Jibril bertanya: "wahai Muhammad, ceritakan padaku tentang Islam."
Rasulullah Saw menjawab: "Islam adalah hendaknya engkau bersaksi tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad Utusan Allah, mendirikan shalat, menunaikan zakat, berpuasa di bulan Ramadhan, dan mengerjakan haji jika engkau mampu berjalan ke sana". (HR. Muslim).
Dengan kata lain, para Sufi yang melandaskan Amaliah dan Keilmuan mereka pada al-Quran dan Hadits, mustahil tidak mengerjakan syariat Islam, yang sekaligus menjadi fokus utama kajian ilmu fikih itu sendiri.
Perbedaan ilmu fikih dari ilmu tasawuf adalah dua sub-sistem berikutnya, yakni tentang Iman dan Ihsan. Pengertian Iman berdasarkan hadits riwayat Muslim di atas adalah:
أن تؤمن بالله وملائكته وكتبه ورسله واليوم الآخر وتؤمن بالقدر خيره وشره
"Hendaknya engkau beriman pada Allah, malaikat-Nya, kitab-kitab Allah, para Rasul Allah, Hari Kiamat, dan Takdir Baik maupun Buruk". Pembahasan iman akidah ini membuat dekat ilmu tasawuf dengan ilmu akidah. Namun, membuat berbeda ilmu tasawuf dari fikih, sebab fikih tidak membahas aspek keimanan.