News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Tribunners

Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.

Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.

Memenangkan Martabat Manusia

Editor: Facundo Chrysnha Pradipha
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Warga yang melaksanakan Salat Idul Fitri di halaman Bank BRI, Jalan Raya Padalarang-Purwakarta, Desa Kertamulya, Kecamatan Padalarang, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat, melebihi kapasitas tampung hingga ke jalan raya, Kamis (13/5/2021). Keputusan Pemerintah agar warga tidak melaksanakan mudik saat Idul Fitri, menyebabkan beberapa lokasi yang biasa digunakan Salat Id melebihi kapasitas tampung seperti sebelum adanya pandemi Covid-19. Tribun Jabar/Zelphi

Oleh Jefri Gultom* 

TRIBUNNEWS.COM - Setelah 30 hari menjalani ibadah puasa, hari untuk merayakan kemenangan telah tiba. 

Idul Fitri tahun 2021, 1442 H dirayakan masih dalam situasi yang sama yakni krisis global Pandemi Covid-19.

Tahun ini ada keistimewaan yang patut disambut dengan semangat solidaritas dan momentum meneguhkan toleransi karena ada dua hari besar keagamaan yang dirayakan di tanggal dan hari yang sama yakni Idul Fitri dan Kenaikan Isa Almasih. Tak seperti biasanya, haru biru silahturahmi dirayakan masih dengan keterbatasan.

Mudik dilarang, jarak perlu dijaga, sapa dan salam ditahan dulu, yang mungkin hanya senyum yang tersipu. Meskipun lebih intensif di ruang virtual, rasa syukur harus tetap dirayakan. Semua karena Covid-19, demi kita dan sesama.

Namun, saat ini dan lebih dari masa lalu, bangsa ini masih saja diterpa berbagai isu yang berpotensi memecah belah. Isu ini dimanipulasi atas nama kemerdekaan atau pemisahan diri oleh sebagian kelompok masyarakat.

Kita dan mereka berbeda.

Prof Eddy Kristianto OFM, dalam sebuah artikelnya pernah menulis bahwa saat ini beredar secara massif ideologi politis yang secara praktis membayangi warga bangsa untuk menggantikan ideologi hasil kesepakatan bersama, Pancasila. Hal ini ditandai dengan maraknya ujaran kebencian yang secara sengaja di media sosial dan banyaknya hoaks.

Bahkan gejala pemanfaatan adagium konflik antarkelas oleh gerakan samar, para pemburu kepentingan pun kian menjadi. Orang tampil soleh demi mengejar hasrat pribadi. Agama ditampilkan dalam kebohongan,dihayati dengan caci maki.

Di media sosial khususnya berseliweran tokoh-tokoh yang pandai bersembunyi di balik retorika tanpa maksud dan tujuan yang jelas. Hoaks makin dipercaya karena ada agama masuk dalam setiap ceramah para tokoh agama. Masyarakat pun kian tersekat.

Bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan justru dipakai untuk memisahkan. Dalam mulut berbusa, lamunan indah kian meyakinkan. Simbol pemersatu dihayati dalam kegaduhan. Diekspresikan dalam aksi saling klaim kebenaran antar-kelompok.

Kebudayaan gotong royong sebagai pondasi tatanan publik mengalami kerusakan dari dalam. Padahal, saat kampanye sampai dilantik setiap pejabat publik menyatakan sumpah. Berdiri tegak, penuh keyakinan sembari memegang Kitab Suci. Pesan dan maknanya jelas bahwa jadi pemimpin itu untuk melayani, mengarahkan, mengatur pertanggungjawaban publik. Lebih dari itu, mempersatukan yang berjarak. Solidaritas bagi sesama manusia adalah sesama. Ia lahir sebagai pribadi yang bukan menekankan hanya pada kekhasan pribadinya, melainkan kebersamaan dalam hidup sosialnya.

Dalam kebersamaan itu manusia akan memahami bahwa hidup ini bukan melulu pada identitas pribadi ataupun sosial, tetapi bagian dari realitas sosial juga budaya. Lewat kebersamaan membuat orang semakin rendah hati untuk saling membantu.

Bahwa kehidupan itu sendiri adalah soal manusia dan martabatnya. Maka manusia tidak bisa mengikatkan diri pada satu aspek atau dimensi saja dalam hidupnya. Semua aktivitas manusia adalah keterkaitan antara hubungan-hubungan. Semakin dalam keterkaitan dan hubungan tersebut, manusia akan sadar mengenai hakekat hidupnya bagi sesama. Lebih dari itu, hidup itu terus bertumbuh. Ada proses belajar baik secara alamiah maupun formal. Dalam hal ini, selalu ada kesempatan untuk berdebat berbagi ide dan gagasan, ada saatnya juga untuk berbeda juga pilihan, bahkan ada saatnya untuk membenci, namun ada momentum pula untuk saling berbagi maaf, karena manusia bukan dibentuk hanya sebagai individu tapi juga pribadi yang bersosialitas.

Halaman
12
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini