Penulis: Jayadi Sulaiman
Pengguna transportasi publik, kadang pesepeda
KEGEMBIRAAN yang terancam. Kalimat itu mungkin yang paling tepat untuk menggambarkan suasana hati para penggemar sepeda di Ibu Kota belakangan ini.
Belum lagi mereka bisa menikmati jalur khusus sepeda di koridor Sudirman-Thamrin yang dibuat oleh pemerintah provinsi DKI Jakarta, tersiar kabar jalur itu harus dibongkar.
Alasannya, lucu, seperti biasa--keberadaan jalur ini disebut membuat jalan macet.
Lebih lucu lagi, pembuatan jalur khusus sepeda ini dikhawatirkan akan membuat para penghobi kendaraan lain menuntut hal yang serupa.
Seorang wakil rakyat di Senayan, menyebutkan kelompok penghobi motor bisa saja meminta hal serupa yakni minta dibuatkan jalur khusus.
Kapolri yang sempat menyetujui usul itu kemudian akan mengambil langkah untuk melakukan riset terlebih dulu di beberapa kota di negara lain.
Soal yang dicari adalah bagaimana mengatur jalur sepeda yang lebih baik. Dengan kata lain, tidak mengganggu jalur kendaraan lainnya.
Memang harusnya begitu. Apa pun tidak lantas mengambil jalan pintas, tidak setuju lalu dengan mudah membongkar.
Reaksi semacam ini bukanlah kali pertama.
Saat pemerintah provinsi melakukan terobosan dengan memperlebar trotoar--yang pertama terjadi di kawasan Cikini, Jakarta Pusat, pada 2019 lalu, serta merta menerbitkan banyak cibiran.
Satu yang paling mengedepan terhadap pelebaran tersebut--tak pelak akan membuat jalan makin macet.
Banyak yang berteriak-teriak, terutama di media sosial--menyebut tindakan untuk memperlebar trotoar adalah langkah blunder yang menyebabkan kemacetan di Jakarta, kian parah.
Saat itu, gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan menjawab dengan tangkas, "yang bikin macet adalah kendaraan."