OLEH: Dar Edi Yoga
Situs clinicaltrials.gov yang berlokasi di Amerika Serikat merilis jurnal terkait Vaksin Nusantara dengan judul "Preventive Dendritic Cell Vaccine, AV-COVID-19, in Subjects Not Actively Infected With COVID-19", pada Jumat (20/8/2021).
Dalam jurnal itu, diulas uji klinis vaksin dari dendritik sel itu. Namun, sejumlah pemberitaan media tanah air membantah bahwa WHO telah mengakui uji klinis fase 2 terhadap Vaksin Nusantara besutan Mantan Menteri Kesehatan, Terawan Agus Putranto.
Disebutkan juga, WHO tidak pernah mengeluarkan pernyataan resmi terkait vaksin ini. Situs ClinicalTrials.gov sendiri merupakan milik Perpustakaan Kesehatan Nasional Amerika Serikat (NLM), bukan WHO.
Terkait hal itu, menurut saya situs Clinical Trials dibuat berdasarkan aturan Badan Pengawas Makanan dan Obat-obatan AS (FDA), yakni Modernization Act of 1997 (FDAMA).
FDAMA mengharuskan Departemen Kesehatan dan Layanan Kemanusiaan AS (HHS), melalui NIH, untuk membuat daftar informasi uji klinis bagi studi yang didanai pemerintah maupun swasta.
Dan menurut saya, WHO pun mengambil jurnal itu sebagai rujukan uji klinis sebuah vaksin karena diakui oleh pemerintah Amerika, atau bisa jadi Clinicaltrials.gov dipakai sebagai salah satu acuan jurnal lembaga uji klinis oleh WHO.
Jika membaca berita yang diulas sejumlah media tanah air yang menyebutkan Vaksin Nusantara tidak diakui WHO, seharusnya mereka melakukan cek n ricek terlebih dahulu ke badan dunia itu, atau menunggu pernyataan resmi dari WHO sehingga tidak terjadi trial by the press.
Menjadi kewajiban kita untuk mendukung Vaksin Nusantara sebagai karya anak bangsa dengan melakukan pemberitaan yang benar sesuai kaidah jurnalistik.
Sebagai praktisi media, saya juga merasa prihatin jika sebuah media menghakimi pemberitaan media lainnya dengan seolah-olah jadi corong pihak tertentu. Ibarat seperti jeruk makan jeruk.
Sementara perkembangan Vaksin Nusantara dari waktu ke waktu begitu cepat.
dr Terawan dan tim mengaku sanggup memproduksi jutaan vaksin atau imonotherapy dalam 1 bulan 10 juta, dan tidak ada kendala biaya yang dikeluhkan selama ini karena tentu banyak pihak yang cinta merah putih ingin membantu.
Jika mahal biaya produksinya, mengapa negara tetangga berani bayar 3,4 triliun untuk memindahkan uji klinis ke negara tersebut? Dan mengapa masih meragukan kehebatan Vaksin Nusantara? Beruntunglah dr Terawan cinta tanah air dan tidak tergiur tawaran itu. Karena dia yakin Vaksin Nusantara akan bisa menjadi salah satu sumber devisa bagi negara jika dipesan oleh dunia internasional.
Sudah terbukti tidak ada efek samping selama 2 kali uji klinis, tambah sehat dan segar iya, seperti yang disampaikan mantan Menkes Siti Fadilah dan juga yang dikatakan Presiden Jokowi ketika melihat Wali Kota Banjarmasin yang sudah disuntik Vaksin Nusantara dan tampak segar.