News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Tribunners

Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.

Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.

Dampak Peraturan Perundangan yang Baru Terhadap Peraturan Perusahaan/Perjanjian Kerja Bersama

Editor: Theresia Felisiani
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Dr Anwar Budiman SH MM MH Dosen Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Krisnadwipayana, Jakarta.  

Oleh: Dr Anwar Budiman SH MM MH

TRIBUNNEWS.COM - Dalam sebuah teori dikatakan bahwa perjanjian kerja harus mencerminkan keadilan atau keseimbangan untuk para pihak. 

Perjanjian kerja tidak boleh berat sebelah, apalagi perjanjian kerja dapat diartikan sebagai pertukaran hak dan kewajiban dari para pihak. 

Maka sudah semestinya sesuai dengan tujuannya, yaitu membawa kemanfaatan dan keadilan bagi yang membuatnya.

Namun dalam kenyataannya banyak yang terjadi jauh panggang dari api, antara das sollen dan das sein tidak sejalan. 

Hal ini karena tidak seimbangnya kedudukan pengusaha dengan pekerja, di mana secara sosioekonomi pengusaha mempunyai kemampuan tinggi, sedangkan pekerja dalam kemampuan kurang menguntungkan.

Baca juga: Hadapi Dampak Pandemi, Menaker Ida Sapa Pekerja Perempuan di Rusunawa Ungaran

Dengan semakin banyaknya tenaga kerja yang tersedia, sedangkan lapangan pekerjaan sangat terbatas, maka masalah kesimbangan dalam perjanjian kerja ini sering tidak ditemukan. 

Oleh karena itu untuk membatasi tindakan dari salah satu pihak yang mempunyai kemampuan lebih tinggi dari yang lainnya, maka negara harus turut campur agar segala transaksi dapat berjalan baik meskipun tidak bisa memuaskan semua pihak.

Salah satunya melalui dibentuknya peraturan perundang-undangan di bidang ketenagakerjaan.

Asas Hukum

Beberapa asas hukum yang akan dibahas antara lain asas legalitas dan beberapa asas lain seperti lex specialis derogat legi generalis dan lex posterior derogat legi priori.

Asas legalitas dapat diartikan hukum berlaku jika telah diatur dalam ketentuan yang telah mengaturnya, baik berupa larangan maupun keharusan untuk melakukan sesuatu, yang dengan demikian dapat diberikan sanksi atau ancaman bagi yang melanggarnya. 

Dengan demikian setiap warga negara wajib tunduk terhadap hukum yang telah dibuat oleh suatu lembaga negara yang telah menjadi undang-undang (UU). 

Baca juga: Pakar Hukum Tata Negara: Rencana Amendemen Konstitusi oleh MPR Cacat Konsep dan Paradigma

Di dalam asas legalitas ini kita juga sering mendengar asas lex specialis derogat legi generalis dan lex posterior derogat legi priori yang mempunyai arti sebagai berikut:

- Lex specialis derogat legi generalis adalah suatu hukum/UU khusus yang dapat mengesampingkan hukum/UU yang bersifat umum, seperti contohnya hukum ketenagakerjaan terdapat pada KUHPerdata Pasal 1601-1617. 

Namun demikian negara sudah mengeluarkan UU No 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. 

Dengan demikian UU 13/2003 merupakan lex specialis dari KUHPerdata, sehingga hukum ketenagakerjaan yang digunakan saat ini adalah UU 13/2003, bukan lagi KUHPedatar.

Begitu pula saat perusahaan mempunyai Perjanjian Kerja Bersama (PKB), maka PKB tersebut menjadi lex specialis dari UU 13/2003 sepanjang isi dari PKB tersebut tidak bertentangan dengan UU 13/2003.

- Selanjutnya lex posterior derogat legi priori mempunyai pengertian bahwa hukum/UU yang datang kemudian akan mengesampingkan hukum/UU terdahulu sepanjang mengatur hal yang sama. 

Hal ini menegaskan apabila negara mengerluarkan UU baru, baik dalam bentuk perubahan pasal demi pasal maupun mengganti UU yang ada, dengan sendirinya sejak UU yang baru berlaku, aturan-aturan yang mengatur sama yang ada pada UU sebelumnya berubah dan menggunakan aturan yang terdapat pada UU yang baru.

Asas tersebut perlu dilengkapi dengan asas Presumptio iustae causa yang artinya aturan yang dikeluarkan dari lembaga negara tetap berlaku sampai adanya pembatalan dari lembaga negara. 

Berdasarkan asas tersebut maka UU yang telah diundangkan oleh negara berlaku dan mengikat secara erga omnes, meskipun UU tersebut sedang dalam proses uji materi di Mahkamah Konstitusi (MK) atau di Mahkamah Agung (MA).

Asas Hukum Perjanjian

Di dalam hukum perjanjian kita mengenal beberapa asas hukum, yang akan dibahas terbatas antara lain asas konsensualitas, asas kebebasan berkotrak, dan asas itikad baik.

1) Asas konsensualiatas suatu asas yang menyatakan suatu kehendak yang sama dari para pihak untuk menuangkan keinginannya ke suatu perjanjian. 

Suatu kehendak yang sama di sini dapat diartikan bahwa para pihak secara sadar telah mengerti tentang tujuan dan harapan atas suatu pembicaraan serius untuk mendapatkan manfaat bersama dari suatu transaksi.

2) Asas kebebasan berkontrak merupakan hak dari para pihak untuk membuat isi perjanjian sesuai kehendak sepanjang disepakati para pihak. Namun perlu diingat bahwa kebebasan berkontrak tetap dibatasi oleh norma-norma hukum, kesusilaan, dan kepatutan. 

Sehingga meskipun diberikan kebebasan dalam membuat perjanjian, namun negara perlu turut campur untuk mengawasinya dengan pembatasan tersebut agar tidak terjadi penindasan terhadap yang lemah.

3) Asas itikad baik dimaknai bahwa dalam membuat perjanjian harus dilandasi perasaan bahagia tanpa ada tekanan dari pihak mana pun, tidak ada tipu daya, dan perjanjian ini dibuat untuk meciptakan kebahagiaan bersama. 

Baca juga: Rizky Billar dan Lesti Kejora Buat Perjanjian Pranikah, Begini Isinya

Selain itu penulis perlu menambahkan asas yang selama ini penulis pikirkan dan ini bisa menjadi asas yang sangat baik karena di dalam asas ini ada nilai-nilai luhur bangsa kita, yakni asas Gotong-royong.

Asas ini perlu dikembangkan dalam setiap pembuatan perjanjian, karena tujuan dari perjanjian khususnya perjanjian kerja adalah untuk menciptakan kebahagiaan bersama, kebahagian pengusaha dan pekerja, sehingga sudah sangat jelas gotong-royong merupakan asas yang sangat tepat untuk menciptakan kebahagiaan bersama tersebut. 

Jika suatu perjanjian dapat berjalan dengan menggunakan asas gotong-royong, maka keseimbangan/keadilan berdasarkan Pancasila bisa dirasakan oleh para pihak.

Peraturan Perundang-undangan

Peraturan perundang-undangan adalah peraturan tertulis yang memuat norma hukum yang mengikat secara umum dan ditetapkan oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang. 

Peraturan perundang-undangan, khususnya UU adalah sah mengikat setelah disetujui dan/atau ditandatangani Presiden dan telah diundangkan di Lembaran Negara RI.

Dewasa ini kita sudah mengenal UU No 13/2003 tentang Ketenagakerjaan, di mana UU ini mengatur tentang transaksional ketenagakerjaan, mulai dari Perjanjian Kerja hingga Pemutusan Hubungan Kerja. 

Sesuai ketentuan bahwa setiap perusahaan yang telah memiliki pekerja 10 orang wajib membuat Peraturan Perusahaan dan bahkan jika suatu perusahaan telah terbentuk Serikat Pekerja (SP) maka jika SP menghendaki dibentuknya Perjanjian Kerja Bersama (PKB), pengusaha tidak boleh menghindarnya. Selain itu perjanjian kerja yang merupakan bagian dari hukum perjanjian juga diatur dalam KUHPerdata buku ketiga tentang Perikatan.

Disebutkan pada KUHPerdata Pasal 1233 Perikatan lahir karena suatu persetujuan atau karena UU. 

Artinya, suatu perikatan atau perjanjian bisa terjadi karena adanya kesepakatan antar-pihak atau karena suatu keharusan tunduk yang diperintahkan oleh UU. Jika perjanjian lahir dikarenakan adanya suatu kesepakatan maka hal ini harus sesuai dengan ketentuan Pasal 1320 KUHperdata atau jika itu merupakan perjanjian kerja maka harus berlandaskan Pasal 52 UU 13/2003.

Jenis-Jenis Perjanjian dalam Hukum Ketenagakerjaan: 1) Perjanjian kerja, adalah perjanjian antara pekerja dengan pengusaha atau pemberi kerja yang memuat syarat-syarat kerja, hak dan kewajiban para pihak.

2) Peraturan Perusahaan, adalah peraturan yang dibuat secara tertulis oleh pengusaha yang memuat syarat-syarat kerja dan tata tertib perusahaan.

3) Perjanjian Kerja Bersama, adalah perjanjian yang merupakan hasil perundingan antara SP yang tercatat pada instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan dengan pengusaha, atau beberapa pengusaha atau perkumpulan pengusaha yang memuat syarat-syarat kerja, hak dan kewajiban kedua belah pihak.

Baca juga: Kebebasan Saipul Jamil Disambut Meriah, Pakar Hukum: Padahal Dihukum karena Perbuatan Tercela

Di awal terjadinya hubungan kerja antara pengusaha dan pekerja maka yang dilakukan adalah membuat perjanjian kerja. Perjanjian kerja biasanya dibuat dalam bentuk baku sehingga tidak ada celah atau kesempatan untuk calon pekerja memberikan penawarannya, sekalipun ada mungkin hanya untuk posisi-posisi tertentu dengan keahlian tertentu. 

Maka sudah sangat jelas bahwa keseimbangan di awal perjanjian kerja sulit untuk ditemukan.Selanjutnya, karena perintah dari peraturan perundang-undangan maka pengusaha yang telah mempekerjakan pekerjanya minimal 10 orang wajib membuat Peraturan Perusahaan, yang dibuat atas kehendak dan kewenangan pengusaha dan tidak untuk disepakati oleh pihak pekerja.

Dengan demikian, keseimbangan sulit ditemukan.

Dalam perjalanannya, perusahaan dengan Peraturan Perusahaan-nya sejatinya banyak mengalami penolakan dari pekerja sehingga pada akhirnya pekerja membentuk SP yang tujuan utamanya memberikan perlindungan serta keadilan kepada pekerja melalui PKB sehingga kedudukan hukum perjanjian antara pengusaha dan pekerja dapat mendekati keseimbangan.

Pembentukan PKB dilakukan oleh dua pihak yaitu pengusaha yang diwakili manajemen, dan pekerja yang diwakili SP.

Masing-masing pihak membuat rancangan PKB untuk dirundingkan. 

Di sini mulai terjadi tarik-menarik kepentingan dengan berbagai argumentasi yang pada akhirnya ketentuan dari UU menjadi bagian yang diakomodir, bukan karena suatu kesepakatan semata, melainkan sejatinya karena tidak ingin memberikan yang lebih tetapi tidak dapat pula untuk memberikan yang rendah, sehingga terhadap klausul tersebut sejatinya terikat karena UU, dengan kata lain masuk dalam perikatan yang lahir karena UU.

Baca juga: Cairkan Dana BLT UMKM Rp 1,2 Juta Tanpa Perlu Antre di BRI, Akses eform.bri.co.id/bpum

Setiap warga negara wajib tunduk terhadap hukum atau UU. Sifat UU memaksa dan keras, tidak bisa dikompromikan atau dikesampingkan untuk mengurangi manfaatnya meskipun dengan suatu kesepakatan. 

Demikian pula jika suatu PKB yang dibuat berlandaskan UU yang berlaku sebelumnya bahkan mengakomodir beberapa ketentuan dari UU tersebut, maka jika terjadi perubahan terhadap UU, baik pengusaha maupun SP wajib tunduk kembali kepada ketentuan baru yang mengaturnya, bukan memaksakan keberlakuan ketentuan yang lama.

Mengakomodir ketentuan UU ke dalam sebuah perjanjian sejatinya bukan atas kesepakatan yang ikhlas, melainkan karena ketundukan warga negara terhadap UU. 

Sehingga bila terdapat peraturan perundang-undangan yang baru maka peraturan yang lama tidak berlaku lagi sesuai asas hukum lex posterior derogat legi priori di mana warga negara diwajibkan tunduk terhadap peraturan perundang-undangan yang baru. 

Dengan demikian ketentuan dalam PKB meskipun masa PKB masih berlaku, namun klausul yang mengatur dengan ketentuan UU yang lama berubah dengan sendirinya menggunakan ketentuan UU yang baru.

“Pada dasarnya ketentuan di dalam PKB yang menggunakan 100% ketentuan dari UU sejatinya bukan lahir dari suatu kesepakatan yang hakiki, melainkan dari ketundukannya terhadap UU.”

Berlakunya UU 11/2020 tentang Cipta Kerja

Dengan telah diundangkannya UU 11/2020 pada November 2020 dan juga dengan telah diundangkannya peraturan pelaksananya, maka telah terjadi perubahan pada beberapa pasal dalam UU 13/2003 tentang Ketenagakerjaan yang diganti dengan ketentuan pada UU No 11/2020 tentang Cipta Kerja beserta peraturan pelaksananya. 

Oleh karena itu beberapa ketentuan pada UU 13/2003 yang telah diubah dengan UU 11/2020 sudah tidak mempunyai kekuatan hukum, dan dengan sendirinya telah berubah menggunakan ketentuan yang berlaku pada UU 11/2020. 

Dengan demikian setiap klausul dalam PKB yang berlandaskan UU 13/2003 dengan sendirinya berubah menggunakan ketentuan UU 11/2020 sepanjang mengatur hal yang sama.

Pro Kontra

Terhadap berlakunya UU 11/2020 khususnya tentang Ketenagakerjaan hingga saat ini masih menjadi pertentangan di kalanagan pekerja. 

Hal ini karena telah terjadi penurunan manfaat dari yang selama ini diatur UU 13/2003. 

Penurunan manfaat ini dipandang oleh pekerja benar-benar sangat merugikan, apalagi dengan dimunculkannya ketentuan baru di mana pengusaha dapat melakukan PHK dengan alasan efisiensi untuk mencegah terjadinya kerugian. Sebaliknya pengusaha sepintas terlihat diberikan kemudahan. 

Hal seperti inilah yang pada akhirnya terjadi perdebatan sangat sengit antara pengusaha dan SP dalam melakukan perubahan atau pembentukan PKB.

Biasanya terhadap perundingan yang sangat ketat dan sulit mencapai kesepakatan, tidak sedikit yang berakhir dengan unjuk rasa atau mogok kerja. 

Mogok kerja memang diatur dalam peraturan ketenagakerjaan jika memang telah terjadi keadaan buntu atau deadlock dalam perundingan. 

Untuk itu agar dapat membedakan mogok kerja itu legal atau ilegal, maka perlu dipahami makna dari mogok kerja tersebut baik secara yuridis maupun filosofis.

Baca juga: Pertama di Indonesia! Warga Palembang Ini Berhasil Ciptakan Robot Pendeteksi Dasar Air

Secara yuridis mogok kerja adalah tindakan pekerja yang direncanakan dan dilaksanakan secara bersama-sama dan/atau oleh SP untuk menghentikan atau memperlambat pekerjaan. 

Mogok kerja harus dilakukan secara sah, tertib, dan damai sebagai akibat gagalnya perundingan. 

Dengan pengertian bahwa mogok kerja itu terjadi akibat gagalnya perundingan, maka secara filosofis perundingan itu gagal jika benar-benar tidak ada jalan keluar yang dapat diberikan atas suatu kesepakatan.

Perlu dipahami bahwa kesepakatan merupakan suatu perikatan, yang bisa lahir karena kesepakatan atau karena UU. Jika perundingan gagal karena tidak ada kesamaan kehendak dalam suatu pembentukan PKB, jalan keluarnya adalah merujuk UU. 

Jika ternyata UU telah mengaturnya, sudah sangat jelas perundingan tidak bisa dinyatakan gagal, karena UU yang telah mengaturnya sudah menjadi solusi bagi kedua belah pihak. 

Maka para pihak harus tunduk kepada UU dan tidak diperdebatkan lagi. Dengan demikian jika mogok kerja terjadi maka termasuk mogok kerja yang tidak sah.


Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini