News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Tribunners

Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.

Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.

Jokowi dan Santri; Alam Pikir Politik Nasionalis

Editor: Husein Sanusi
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

KH. Imam Jazuli, Lc. MA, alumni Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri; Alumni Universitas Al-Azhar, Mesir, Dept. Theology and Philosophy; Alumni Universiti Kebangsaan Malaysia, Dept. Politic and Strategy; Alumni Universiti Malaya, Dept. International Strategic and Defence Studies; Pengasuh Pondok Pesantren Bina Insan Mulia, Cirebon; Wakil Ketua Pimpinan Pusat Rabithah Ma’ahid Islamiyah (Asosiasi Pondok Pesantren se-Indonesia); Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Periode 2010-2015.

Jokowi dan Santri; Alam Pikir Politik Nasionalis

Oleh: KH. Imam Jazuli,Lc. MA*

TRIBUNNEWS.COM - Presiden Joko Widodo sudah dua periode memimpin. Pertama bersama Jusuf Kalla, dan kedua didampingi KH. Ma’ruf Amin. Dua periode ini dapat dibilang era gemilang politik santri. Walaupun perubahan angin politik masih terbuka, mengingat akhir masa jabatan masih cukup panjang.

Jokowi berpasangan dengan siapapun tetap konsisten mewadahi aspirasi santri. Tiga prestasinya yang boleh dicatat dengan tintas emas: Penetapan Hari Santri Nasional (2015), Undang-undang Pesantren (2019) dan ‘Dana Abadi Pesantren’ (2021). Ketiganya dapat diartikan sebagai simpul utama kepentingan santri.

Tiga prestasi Jokowi di atas mengafirmasi peranyaannya di tahun 2018 silam. Kala itu sosok presiden yang merakyat ini menepis tudingan yang menyebut dirinya antipati terhadap keberadaan ulama. Di Bangkalan, Madura, Jokowi mengatakan: “kalau saya anti ulama, tidak mungkin ada hari santri. Saya simpan saja draf Keprres-nya, tidak saya tanda tangani,” (CNN, 19/12/2018).

Sepanjang perjalanan menuju akhir jabatannya di 2024, sang presiden masih mungkin untuk mengembangkan pernyataannya, kira-kira begini: “kalau saya anti ulama, tidak mungkin ada UU Pesantren dan Peraturan Presiden No. 82/2021 tentang Pendanaan Penyelenggaraan Pesantren.” Ini akan jadi tameng ampuh untuk melindungi dirinya.

Selama ini, isu politik yang kerap dihembuskan adalah mengkaitkan kerja sama bilateral apapun pemerintahan Jokowi dengan China sebagai menguatnya paham komunisme Indonesia. Lebih-lebih para petinggi Partai Komunis China memang sering bertemu dengan Jokowi dan Megawati (Tempo, 20/9/2019).

Hubungan akrab Indonesia era Jokowi dengan negeri komunis tersebut menjadi ladang basah bagi bersemainya hoax-hoax yang tak bertanggung jawab. Misalnya, Jokowi dituduh berkhianat dengan menerima uang suap dari komunis China dan menyimpan uang haram itu di 20 rekening bank luar negeri (Merdeka, 14/6/2021).

Isu-isu hoax dan politik untuk menjatuhkan citra kepemimpinan Jokowi tidak lepas dari China dan Komunisme. Anehnya, logika para oposan Jokowi ini tidak konsisten dengan menyebutnya sebagai komunis. Sebab pada saat yang sama, praktik pemerintahan Jokowi dinilai berasa liberalis dan kapitalis (Tagar, 16/8/2019). Padahal, siapapun tahu, liberalis-kapitas dan komunis-sosialis bagaikan air dan minyak.

Kontribusi dua periode pemerintahan Jokowi terhadap santri dan pesantren menepis semua logika oposan selama ini, baik yang menuduhnya sebagai komunis maupun liberalis-kapitalis. Hal itu bisa dijelaskan dengan argumentasi dasar yang sederhana. Yaitu, alam pikir politik nasionalis memiliki akar historis yang menggandeng semua aliran.

Jokowi sendiri merupakan kader terbaik Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP). Ideologi partai ini sudah jelas; yaitu partai nasionalis. Artinya, bukan partai agama, bukan pula anti-agama seperti komunis China. PDIP masih teguh berpegang pada jejak-jejak pemikiran Presiden Soekarno, yang mau merangkul keragaman. Hal itu bisa dilihat, salah satunya, banyak kaum abangan yang bukan kaum santri menjadi basis massa PDIP.

Karena itu pula, menuduh Jokowi anti ulama sepenuhnya tidak tepat, sebagaimana menuduh Jokowi pro ulama sepenuhnya juga tidak tepat. Menuduh pro komunis sepenuhnya tidak tepat, sebagaimana menuduh pro liberalis-kapitalis sepenuhnya juga tidak tepat. Pada praktiknya, akan selalu ada racikan proporsional dari keragaman unsur tersebut.

Hadiah Jokowi terhadap santri berupa Keppres Hari Santri Nasional, UU Pesantren dan Perpres 82/2021, adalah wujud implementasi dari satu elemen ideologi partai nasionalis. Karena juga tidak dapat dipungkiri, banyak para petinggi PDIP berasal dari lingkungan pesantren. Maju pada Pilpres pun didukung oleh pesantren.

Kontribusi Jokowi pada Pesantren dapat dibaca sebagai ajang balas budi, di satu sisi. Di sisi lain, meminjam istilah filsafat, sebagai imperatif kategoris alam pikir parpol nasionalis, seperti PDIP. Jadi, kader-kader PDIP mustahil sepenuhnya anti Islam, anti ulama, dan anti pesantren. Tetapi, juga mustahil sepenuhnya demi tujuan Islam, ulama dan pesantren.

Karenanya, menurut hemat penulis, komunitas pesantren patut bersyukur pada Allah Swt, Tuhan Yang Maha Kuasa, karena telah menghadiahi pemimpin berintegritas seperti Jokowi. Namun begitu, peluang kritik tajam atas kinerja dan praktik pemerintahan Jokowi terbuka lebar, lebih-lebih jika berangkat dari sudut pandang kelompok Islam-Fundamental-Radikal. Sebab jika kebijakan politik Jokowi dalam rangka implementasi unsur lain ideologi nasionalis, yang tidak bersangkutpaut dengan Islam, maka celah kritik terbuka lebar dari kelompok Islam Fundamental-Radikal.

Rasa syukur pada Allah, bagi komunitas pesantren, adalah perkara penting. Bukan saja karena perintah agama, melainkan juga untuk membangun kesadaran politik. Jika pemimpin yang ada belum representasi dari pesantren maka apa yang sudah didapat harus disyukur. Supaya pada kesempatan berikutnya pemimpin/presiden dicanangkan berasal dari pesantren itu sendiri.

Tiga hadiah dari Jokowi kepada pesantren berupa peraturan dan perundang ini bukan perkara sepele. Melainkan sesuatu yang sangat berharga dan luar biasa. Ditambah masa jabatan masih tersisa dua-tiga tahun lagi. Artinya, masih ada peluang berikutnya Jokowi mempersembahkan peraturan perundangan lain yang menguntungkan peran politik pesantren.

Akhir kata, mau tidak mau, jasa besar Jokowi kepada pesantren adalah wujud implementasi efektif ideologi nasionalis, baik yang mendarang daging pada pribadi sang presiden maupun partai pendukungnya. Berterimakasih pada Tuhan yang telah memberikan pemimpin seperti Jokowi, dan partai-partai nasionalis seperti PDIP dan PKB, adalah sebuah keharusan bagi kita semua. Wallahu a’lam bis shawab.

*Pengasuh Pondok Pesantren Bina Insan Mulia

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini