Selain generasi muda dibayangkan sebagai generasi enerjik, juga karena generasi muda dapat menjadi generasi penerus. Para penerus ini sangat dibuthkan, khususnya untuk memomong kaum milenial itu sendiri. Bagaimana pun, generasi milenial ini adalah betul-betul generasi baru, yang membawa kompleksitas permasalahannya sendiri.
Salah satu contohnya, generasi milenial disebut sebagai "digital natives"; penduduk asli era digital. Sedangkan generasi tua disebut "digital immigrants"; mereka yang bermigrasi ke alam digital. Sudah jelas, kemampuan dua jenis generasi ini berbeda sama sekali. Kita tidak bisa bernostalgia, dengan membayangkan masalah masa depan dapat dipecahkan dengan pengalaman masa lalu.
Selain pertimbangan masa depan, kita juga punya modal historis, di mana saat itu NU juga dipimpin kaum muda. Misalnya, ada Kiyai Wahid Hasyim mempimpin PBNU diumur 38 tahun, bahkan Kiyai Idham Cholid memimpin PBNU masih berumur 33 tahun, dan lainnya. Sementara hari ini, kita punya modal kader-kader potensial itu, misalnya Cak Imin (Gus Muhaimin), Gus Reza Lirboyo, Gus Kautsar Ploso, Gus Maman Imanul Haq al-Mizan, Gus Cholil Nafis, Gus Nusron Wahid, Gus Fahrur Rozi, Gus Muhammad Yusuf Chudlori.
Sedikit contoh, Profil Gus Yusuf Chudhory, Ia adalah putra kiai kharismatik, KH. Chaudhary, tempat Gus Dur dulu sempat mondok dan ngaji.
Gus Yusuf hari ini menjadi pengasuh Asrama Perguruan Islam (API) Pondok Pesantren Salafi Tegalrejo, Magelang, melanjutkan tradisi ayahandanya. Belum lagi kapasitasnya yang melek politik dan budaya; menjadi Ketua Dewan Pimpinan Wilayah (DPW) Partai Kebangkitan Bangsa Jawa Tengah, Wakil Ketua PP-RMI-PBNU, rutin menggelar perhelatan seni budaya di Tegalrejo, Manajer club sepak bola dan berpartisipasi dalam berbagai Komunitas
Berbekal pertimbangan masa depan dan pengalaman sejarah masa lalu, kita tidak perlu ragu untuk melakukan "reformasi" di tubuh PBNU. Memberikan kesempatan dan sekaligus dukungan penuh akan kepemimpinan generasi muda. Belum lagi kita bicara betapa banyaknya generasi muda NU saat ini yang sudah 'alim, menguasai berbagai bidang keilmuan agama dan umum, berkiprah luas, banyak berkontribusi di Masyarakat, bahkan berpengalaman di dunia politik yang menjadi bekal utama mereka memimpin NU.
Alhasil, melapangkan jalan kepemimpinan bagi generasi muda di NU adalah tanggung jawab kaderisasi kaum sepuh. Kehadiran kaum muda ini sungguh sangat dinanti-nantikan. Bukan saja oleh warga nahdliyyin di Indonesia melainkan juga seluruh nadhliyyin di dunia. Kaum sepuh sudah tidak sepatutnya berebut/berambisi menjadi ketum PBNU, cukup menjadi Rais 'Am, Anggota Syuriah, atau Musytasyar saja. Maka, regenerasi di PBNU sebuah keharusan !. Wallahu a’lam bis shawab.
*_*Penulis adalah Alumni Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri; Alumni Universitas Al-Azhar, Mesir, Dept. Theology and Philosophy; Alumni Universiti Kebangsaan Malaysia, Dept. Politic and Strategy; Alumni Universiti Malaya, Dept. International Strategic and Defence Studies; Pengasuh Pondok Pesantren Bina Insan Mulia, Cirebon; Wakil Ketua Pimpinan Pusat Rabithah Ma’ahid Islamiyah (Asosiasi Pondok Pesantren se-Indonesia); Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Periode 2010-2015.*_