News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Tribunners

Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.

Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.

Efisiensi Merger dan Transfer Frekuensi

Editor: Hendra Gunawan
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Ilustrasi merger Indosat dan Tri.

Oleh Moch S Hendrowijono *)

AKSI korporasi penggabungan (merger) Indosat Ooredoo dan Hutchison Tri Indonesia (Tri), memulai proses konsolidasi di sektor telekomunikasi. Konsolidasi seharusnya membuat enam operator, Telkomsel, Indosat, XL Axiata, Tri, Smartfren dan Net1, bisa dikurangi menjadi tiga, kalau bisa malah dua.

Operator menggunakan banyak devisa karena barang-barang teknologi masih diimpor, sementara pendapatannya rupiah. Untuk perluasan jaringan, misalnya, enam operator harus membeli enam BTS untuk satu titik, padahal kalau operator hanya tiga, BTS yang harus dibeli hanyalah tiga, hanya dua kalau operatornya dua.

Baca juga: Indosat dan Tri Indonesia Resmi Merger, Targetkan Keuntungan 300 Juta Dolar dalam 3-5 Tahun

Merger Indosat dan Tri memang belum optimal, tetapi tetap terjadi penghematan biaya yang berdampak tarif yang wajar, negara dapat pajak dan PNBP (penerimaan negara bukan pajak) yang lebih besar. Yang pasti, pelanggan Tri kini bisa menelepon dari Jayapura, misalnya, di mana jaringan Tri tidak ada di sana.

Jika di satu tempat ketersediaan sinyal minim, tak lama lagi sinyal tersedia sangat banyak akibat gabungnya spektrum frekuensi dari dua operator. Untuk layanan 4G LTE di spektrum 1800 MHz dan 2100 Mhz, kalau di satu titik semula hanya tersedia spektrum selebar 35 MHz milik Indosat, kini melimpah karena dengan masuknya Tri, lebar pitanya menjadi 60 MHz.

Makin lebar pita, makin besar kesempatan pelanggan berinternet ria, makin besar kapasitas tersedia, sehingga tercipta internet cepat. Dengan memanfaatkan DSS (dynamic spectrum sharing), kapasitas 5G Indosat bisa makin besar dengan masuknya Tri, dan pelanggan Tri pun bisa tiba-tiba menggunakan ponsel 5G-nya.

Baca juga: Indosat Ooredoo Resmi Sepakati MoU Eksklusif dengan Hutchison Tri

Bukan karena Indosat dan Tri, tetapi siapa pun operator berhasil melakukan konsolidasi, kesempatan bagi operator lain akan berkurang karena posisi tawar mereka menjadi rendah. Ini yang mungkin akan dialami XL Axiata dan Smartfren, tetapi tidak untuk Telkomsel.

Gabung saja ke IOH

Operator milik Kelompok Telkom itu sudah punya 169 juta lebih pelanggan dengan pendapatan sekitaran Rp 90 triliun dan laba Rp 25 triliun, tidak punya alasan untuk merger. Sebagai pemilik, pemerintah pun akan enggan, khawatir setoran Telkom berupa dividen dan pajak serta PNBP yang sangat besar akan terganggu.

Tidak juga berarti peluang merger untuk XL Axiata dan Smartfren tertutup. Bisa saja mereka merger, tetapi kemungkinannya prosesnya akan lebih lama dibanding proses yang dijalani Indosat dan untuk sepakat. Performansi XL Axiata lebih baik dibanding Smartfren, punya pelanggan 57 juta dapat laba ratusan miliar sementara Smartfren dengan 30 juta pelanggan masih saja didekap rugi satu triliun rupiah tiap tahun.

Di beberapa kesempatan, manajemen XL Axiata menyebutkan siap merger atau akuisisi, tetapi mereka harus dalam posisi yang mengakuisisi. Sementara pemilik Smarftren, Kelompok Sinarmas, hampir mirip dengan Ooredoo yang uangnya tidak berseri belum tentu mau, kecuali sebagai pihak yang mengakuisisi.

Baca juga: Telkomsel dan IndiHome Alami Gangguan, Telkom Sampaikan Permohonan Maaf bagi Pengguna

Ketimbang sulit untuk merger antar-keduanya, beberapa ahli dan pengamat menyarankan XL Axiata dan Smartfren segera saja bergabung ke IOH saat ini, ketika proses merger masih berjalan, persetujuan pemegang saham dan pemerintah belum keluar. Atau dua tahun lagi sesudah IOH berjalan normal, namun posisi tawar mereka bisa jadi sudah di batas bawah.

Beberapa tahun terakhir Indosat Ooredoo selalu menderita rugi, tahun 2018 sampai Rp 2,4 triliun, tahun 2020 dengan pendapatan Rp 20 triliun, kerugiannya bisa ditekan menjadi Rp 716 miliar. Tetapi di pendapatan semester 1 tahun ini yang hampir Rp 15 triliun, laporan labanya melonjak menjadi Rp 5,67 triliun.

Menjadi perusahaan yang merugi, Pemerintah Indonesia yang punya 14,29% saham mengalihkan Indosat dari pengawasan Kementerian BUMN ke PPA (Perusahaan Pengelola Aset), bersama perusahaan dan bank rugi lainnya. Dalam proses merger, saham pemerintah turun menjadi 9,63%, tetapi nilainya jauh dibanding ketika sahamnya masih lebih besar.

Baca juga: Demo Cloud Gaming 5G XL Digelar di Berbagai Lokasi

Kita punya Rp 7 triliun

Dengan harga saham di atas Rp 7.500 dan beberapa hari terakhir menjadi sekitaran Rp 6.500, saham sebesar 9,63 % itu kalau dijual membuat kocek pemerintah bertambah antara Rp 6 triliun – Rp 7 triliun. Beda kalau dijual dua tiga tahun lalu, mungkin nilainya hanya ratusan miliar.

Dalam soal spektrum, Menkominfo Johnny G Plate mengatakan akan mengevaluasi setelah proses merger selesai, mengacu ke UU No 11/2020 tentang Cipta Kerja soal efisiensi pemanfaatan sumber daya spektrum, sharing infrastruktur dan tata kelola tarif. Pasal 33 ayat (6) UU Cipta Kerja memang membuka kesempatan operator mengalihkan penggunaan spektrum frekuensi radio ke operator seluler lain setelah ada persetujuan dan izin pemerintah.

Dari merger, IOH akan memiliki spektrum frekuensi selebar 72,5 MHz dengan pelanggan 104 juta, agak timpang kalau dibandingkan dengan Telkomsel yang pelanggannya 169 juta tetapi hanya punya 82,5 MHz. Mengaca pada proses akuisisi Axis oleh XL Axiata dekade lalu ketika pemerintah mengambil dua kanal (10 MHz) di spektrum 2100 MHz, kosa kata ‘evaluasi’ menjadi hantu di siang hari bagi operator yang ingin melakukan konsolidasi.

Tetapi Telkomsel tidak merasa kekurangan spektrum, bahkan menyewakan spektrum selebar 4 MHz dari 7,5 MHz mereka di rentang 900 MHz untuk KCIC (KA Cepat Indonesia China). Pengendalian KA super cepat modern membutuhkan spektrum frekuensi rendah (low band) di teknologi GSMR (GSM Rail) untuk IoT (internet of things). Tidak mungkin memanfaatkan milimeter band di spektrum 26 GHz atau 35 GHz yang cakupannya hanya 100 meter – 200 meter, sementara kecepatan KA di atas 250 km/jam

Tahun depan pemerintah akan melelang frekuensi untuk kebutuhan 5G, selebar 1.000 MHz di 26 GHz dan 35 GHz, juga 90 MHz di spektrum 700 MHz. Tidak pula perlu IOH melakukan refarming, mengatur kembali posisi frekuensi, toh bisa dilakukan setelah lelang spektrum selesai agar tidak refarming dua kali. (*)

(* Moch S Hendrowijono adalah mantan editor Kompas, pengamat telekomunikasi dan transportasi

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini