Disampaikan, lima diantaranya sudah ditandatangani, sementara 10 lagi akan dituntaskan dalam waktu satu bulan.
Pada kesempatan lain, melalui Kepala Kantor Staf Presiden (KSP) dalam seminar Komnas HAM di USU, 21 Oktober 2021, Presiden meminta konflik agraria di Sumut segera di selesaikan.
KSP menyebutkan bahwa presiden meminta percepatan penyelesaian konflik diantaranya: Penyelesaian konflik bekas HGU PTPN II, Lahan Simalingkar A dan Sei Mencirim, Konflik lahan Sarirejo dengan TNI Angkatan Udara, dan konflik tanah adat.
Baca juga: Sofyan Djalil Sebut Jaringan Mafia Tanah Terdiri dari Oknum BPN Hingga Aparat Penegak Hukum
Senada dengan Presiden, Kementerian dan Lembaga terkait juga menyampaikan hal yang sama. Komnas HAM, melalui pemaparannya dalam seminar Nasional di USU bulan Oktober lalu, mengakui Sumatera Utara sebagai propinsi dengan pengaduan konfik agraria terbesar di Indonesia.
Wakil Menteri Kementerian Agraria dan Tata Ruang (ATR), Surya Tjandra menyebut ‘wajar’ Sumut sebagai hotspot konflik agraria karena propinsi ini menjadi pusat pusat operasi Proyek Strategis Nasional (PSN).
Pendekatan Reforma Agraria
Adakah solusi komplikasi dan kedaruratan agraria ini? Reforma Agraria seharusnya bisa menjadi jawaban.
Seperti obat, Reforma Agraria adalah suatu operasi cepat dengan durasi waktu terukur melibatkan kepanitiaan khusus yang punya otoritas cukup mengambil keputusan final atas peruntukan, kepemilikan, dan penggunaan sumber sumber agraria.
Konsep asli Reforma Agraria memang diperuntukkan menyelesaikan masalah agraria yang pelik, yang tidak bisa diselesaikan dengan cara cara normal, karena menyangkut ketimpangan kekuasaan, ekonomi, dan politik dari para pihak yang terlibat konflik itu.
Dalam konteks darurat agraria di Sumut, obat Reforma Agraria bisa manjur dengan prasyarat menetapkan terlebih dahulu moratorium atas aktivitas proyek pembangunan atau perusahaan di titik-titik konflik hingga konflik diselesaikan dengan jalan damai melibatkan masyarakat korban yang genuine, pemerintah dan pihak terkait.
Moratorium ini juga penting sebagai momentum bagi warga korban untuk ‘tarif nafas’ menghadapi krisis ekonomi dan pandemi covid.
Kelembagaan dan Kebijakan Agraria
Di level propinsi, terdapat Gugus Tugas Reforma Agraria (GTRA) sebagai mandat dari Perpres 86/2018. Sejak dibentuk tahun 2019, belum terlihat peran gugus tugas ini sama sekali.. Selain GTRA, terdapat beberapa platform multi pihak seperti Kelompok Kerja Perhutanan Sosial (Pokja PPS), dan DKD (Dewan Kehutanan Daerah).
Masing masing dua kepanitiaan ini juga belum terlihat efektivitasnya. Jika Gubernur memiliki political will, GTRA bisa digerakkan untuk menuntaskan konflik agraria yang ada, serta mengoptimalkan berbagai kelompok kerja multi pihak ini dibawah wilayah kekuasaannya.
Baca juga: Sempat Diamankan Karena Gelar Aksi Ritual di KLHK, Polisi Pulangkan 27 Peserta Demo Masyarakat Adat