Tidak kalah penting, Propinsi Sumut sudah memiliki draft Peraturan Daerah Perlindungan dan Pengakuan masyarakat Adat yang sejak 6 tahun lalu sudah masuk dalam agenda DPRD.
Bahkan Ranperda ini sudah terdaftar sebagai prolegda prioritas sejak tahun 2020. Akhir tahun 2020, Ranperda ini pernah dibawa dalam Rapat Paripurna DPRD, dan seluruh fraksi sudah menyetujui Ranperda ini.
Namun, publik terkejut tidak ada proses pengesahan Ranperda ini hingga 12 bulan berikutnya. Ranperda ini perlu segera disahkan oleh DPRD Propinsi Sumatera Utara untuk mengisi kekosongan pengakuan Masyarakat Adat di level propinsi.
Opsi lain, adalah Presiden perlu membuat Instruksi Presiden (Inpres) khusus penyelesaian konflik agraria di Sumatera Utara.
Inpres bisa berisi mandat yang otoritatif, kelembagaan khusus, dan rentang waktu operasi terukur.
Lembaga ini harus berposisi kuat dan bisa melakukan eksekusi, memiliki kewenangan lintas kelembagaan, dan jika perlu menyebutkan daftar kasus yang harus diselesaikan, sehingga memiliki hasil yang nyata, sangkil dan mangkus diakhir tugasnya.
Pada praktiknya, intervensi langsung presiden sudah terjadi namun dalam bentuk kasuistik melalui keterlibatan KSP.
Dalam beberapa kasus, Keterlibatan orang orang Presiden telah berkontribusi pada setidak-tidaknya titik terang penyelesaian kasus.
Sebagai contoh, di Pantai Barat, keberhasilan pengakuan hutan adat Pandumaan Sipituhuta berawal dari – salah satunya- intervensi KSP sejak tahun 2016 yang menyodorkan 11 lokasi untuk diurus oleh Kementerian KLHK.
Meskipun, dari 11 kasus yang ada, KLHK hanya meloloskan 1 cadangan hutan adat dengan luas sekitar 5.000 hektar Pandumaan-Sipituhuta itu saja.
Di Pantai Timur, KSP juga melakukan intervensi langsung terhadap kasus tanah dua desa di Deli Serdang.
Untuk kasus ini, Kepala KSP mengeluarkan SK Kepala Staf Presiden no 9/2020 tentang penyelesaian konflik agraria desa Simalingkar dan desa Sei Mencirim, Kabupaten Deli Serdang.
Hasilya, KSP melaporkan sebanyak 1.408 warga, terdiri dari: 716 warga desa Simalingkar dan 692 warga desa Sei Mencirim teridentifikasi sebagai penerima tapak tanah masing masing seluas 150 meter, dan tanah diusulkan dengan skema pinjam pakai seluas 2500 meter persegi. Klaim KSP ini masih diragukan oleh masyarakat sipil karena pada kenyataannya warga belum mendapatkan haknya.
Dua kasus reforma agraria mini ini memiliki peta jalan yang lebih terang setelah intervensi langsung Presiden.