MELIHAT LANGSUNG Machu Picchu, Acropolis, dan Persepolis, reruntuhan dari kebudayaan masa silam yang tersembunyi di sudut-sudut bumi tentu tidak semua orang beruntung dapat melakukannya.
Artsanti sejak masa remajanya sudah bermimpi menengok semua keajaiban dan keindahan alam yang tersaji di muka bumi itu.
Namun ayahnya tidak berkenan.
“Anak gadis yang baik, sebaiknya tinggal di rumah. Tidak kluyuran," kata Artsanti menirukan ucapan sang ayah seperti yang ditulis dalam bukunya 'Berawal Dari Mimpi'.
Artsanti sangat menyayangi ayahnya, ia mengikuti saran itu. Namun ia terus mengingat pesan ayahnya yang lain.
“Jika ingin menengok dunia, kamu harus pergi dengan uang kamu sendiri.”
Kata-kata ini yang menggerakkan semangatnya untuk bekerja mengumpulkan uang sendiri. Dengan upaya semacam itu, ia akhirnya berhasil menggapai mimpinya, berkelana ke Lima Benua.
Di buku 'Berawal Dari Mimpi', Artsanti mengisahkan perjalanannya di Asia, Eropa, Amerika Serikat, Amerika Latin, Australia dan New Zealand, serta ke Benua Hitam, Afrika.
Sebagai perjalanan kontemplatif, ia tak hanya mengunjungi tempat-tempat wisata yang ramai dikunjungi wisatawan.
Di Belanda ia menyusup ke balik pepohonan walnut, ke kafe-kafe yang tersembunyi di hutan, dan duduk di lapangan rumput menyaksikan anak-anak Belanda berlatih Sepakbola.
Ia naik tinggi mendekati puncak Mount Blanc, Eiger, Matterhorn dan Mount Cook, dengan gondola atau helikopter, meskipun pernah pula mencoba mendaki Mount Kilimanjaro menggunakan kakinya sendiri.
Artsanti menikmati perjalanannya ke tempat-tempat yang tak banyak orang tertarik mengunjunginya.
Saat diminta untuk memilih berkunjung ke New York atau ke Komunitas Amish di Pennsylvania, ia memilih yang terakhir.
Saat berkunjung ke Moscow, ia tidak meneruskan ke Saint Petersburg yang sangat terkenal, namun terbang ke Khanty Mansiysk di Siberia.