Oleh: Dr Anwar Budiman SH MH
TRIBUNNEWS.COM - Beberapa hari ini telah terjadi hiruk-pikuk di tengah masyarakat, khususnya masyarakat industri yaitu kaum buruh (pekerja) akibat di terbitkannya kebijakan pemerintah melalui Peraturan Menteri Ketenagakerjaan (Permenaker) Nomor 2 Tahun 2022 tentang Tata Cara dan Persyaratan Pembayaran Manfaat Jaminan Hari Tua (JHT).
Menurut kaum buruh, ketentuan ini sangat mencederai pekerja apalagi di saat kondisi sulit di tengah pandemi Covid-19,
Namun berbeda pendapat bagi pemerintah dan pendukungnya.
Dilihat dari segi hukum, Permenaker 2/2022 menggantikan Permanker 19/2015.
Di dalam Permenaker 2/2022 dijelaskan JHT bagi pekerja yang mengalami Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) atau mengundurkan diri baru dapat diterima pada saat usia 56 tahun.
Baca juga: Simulasi Perhitungan JHT: Pekerja Gaji Rp4 Juta kena PHK Usia 30 Tahun Bisa Dapat hingga Rp66 Juta
Sedangkan sebelumnya di dalam Permenaker 19/2015 diberikan kemudahan JHT bagi pekerja yang mengalami PHK atau mengundurkan diri dapat diterima setelah melewati 1 bulan setelah PHK atau mengundurkan diri dari perusahaan.
Nah, di sinilah permasalahan yang timbul dan membuat buruh merasa dirugikan atau dipersulit untuk menerima haknya.
Berdasarkan teori perundang-undangan maka Peraturan Menteri merupakan turunan dari Peraturan Pemerintah (PP) dan PP merupakan turunan dari Undang-undang (UU). Bisa dijelaskan sekarang bahwa Permenaker 2/2022 turunan dari PP 46/2015 dan perubahannya, yakni PP 60/2015 tentang Penyelenggaraan Program JHT.
Hal ini juga telah dikuatkan dalam konsiderannya.
Perlu dijelaskan di sini bahwa di dalam Pasal 26 ayat (3) PP 46/2015 ditetapkan manfaat JHT bagi Peserta yang dikenai pemutusan hubungan kerja atau berhenti bekerja sebelum usia pensiun, dibayarkan pada saat Peserta mencapai usia 56 (lima puluh enam) tahun.
Sedangkan Pasal 26 PP 60/2015 tidak lagi mengatur secara pasti tentang kapan JHT dapat diterima oleh pekerja.
Berdasarkan PP 46/2015 dan perubahannya PP No 60/2015 di tahun 2015, Menaker telah mengeluarkan Permenaker 19/2015 yang memudahkan pekerja dalam mencairkan JHT-nya.
Pastinya peraturan ini telah dikaji dan ditelaah dengan seksama demi sebuah keadilan, dan hal ini tidak bertentangan dengan UU karena lebih baik dan lebih bermanfaat.
Namun entah apa yang melatarbelakangi pemerintah sehingga pada akhirnya mengeluarkan Permenaker 2/2022, mengantikan peraturan yang lebih bermanfaat bagi pekerja.
Semestinya ketentuan yang lebih baik dan lebih bermanfaat tidak diganti dengan ketentuan yang menyulitkan atau cenderung merugikan.
Dengan kata lain, Permenaker 2/2022 tersebut lebih banyak mudaratnya daripada manfaatnya bagi buruh.
Bisa saja peraturan tersebut dibuat dengan dalih Permenaker 2/2022 tidak bertentangan dengan PP 60/2015 karena di dalam PP tersebut tidak menetapkan secara jelas mengenai usia kapan JHT dapat diterima pekerja.
Bahkan ditegaskan oleh “ibu kandung”-nya, yaitu Pasal 37 ayat (1) UU 40/2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) bahwa manfaat jaminan hari tua berupa uang tunai dibayarkan sekaligus pada saat peserta memasuki usia pensiun, meninggal dunia, atau mengalami cacat total tetap; di mana mengenai usia pensiun telah ditegaskan pada Pasal 15 ayat (1) PP 45/2015 tentang Jaminan Pensiun bahwa untuk pertama kali Usia Pensiun ditetapkan 56 (lima puluh enam) tahun.
Memang, dilihat dari runutan di atas seolah-olah tidak ada pertentangan Permenaker 2/2022 dengan peraturan di atasnya jika dipandang dari sisi kepastian hukum.
Padahal jika kita mencermati lebih teliti bahwa didalam penjelasan pasal 26 ayat (1) PP No.60 Tahun 2015 dinyatakan bahwa yang dimaksud dengan "mencapai usia pensiun" termasuj Peserta yang berhenti bekerja.
Namun perlu dipahami bahwa iuran JHT sebesar 5,7% dari upah pekerja adalah dibayarkan langsung oleh pekerja sebesar 2% dan dari pengusaha sebesar 3,7% dimana sejatinya iuran ini merupakan tabungan pekerja, yang semestinya dapat diambil kembali oleh pekerja jika sudah tidak terikat lagi dengan perusahaan/pengusaha, terkait adanya JHT karena adanya perikatan antara pekerja dan pengusaha.
Dengan demikian, sudah semestinya pemerintah membuat suatu aturan berdasarkan keadilan dan kemanfaatan yang benar-benar dapat dirasakan oleh masyarakat, bukan sekadar kepastian hukum belaka.
* Dr Anwar Budiman SH MH: Advokat/Legal Consultant & Praktisi Ketenagakerjaan/Pakar Hukum Ketenagakerjaan/Dosen Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Krisnadwipayana, Jakarta.