News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Tribunners

Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.

Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.

Pesantren BIMA Wajibkan Santrinya Nonton Film dan Punya Studio Sendiri

Editor: Husein Sanusi
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

KH. Imam Jazuli

Dakwah Harus Kontekstual

Mengundang Kang Sa’id, panggilan akrab Prof. Dr. K.H. Aqil Siroj ke Pesantren Bina Insan Mulia adalah sesuatu yang sangat istimewa dan punya banyak makna. Ada ketokohan, senioritas, kedalaman ilmu, dan yang tidak kalah pentingnya adalah silaturahim sesama nahdhiyin di Cirebon. Kang Said juga alumnus Pesantren Lirboyo di era jauh sebelum saya.

Ketika beliau saya undang untuk menyampaikan tausiyah pada Haul K.H. Anas Sirojuddin, ada pesan Kiai Said yang menggelorakan semangat santri-santri Bina Insan Mulia terkait dengan metode dakwah. “Berdakwah itu harus kontekstual sesuai dengan zamannya, sebab perintahnya menggunakan fi’il amr. Ud’uu ila sabili robbika bilhikmati walm auidzotil hasanati wajadilhum billati hiya ahsan,” jelas Kang Said.

Di zaman dimana teknologi telah berada di genggaman dan gapaian semua manusia, maka berdakwah pun harus menggunakan teknologi. Film dan berbagai produk digital perlu dipahami sebagai metode dakwah yang sangat kontekstual. Berdakwah dengan teknologi ini menjadi perintah agama sebab eranya memang era teknologi.

Ada empat keuntungan apabila kita dapat mengoptimalkan teknologi untuk pendidikan atau dakwah. Pertama, pasti lebih cepat. Teknologi memfasilitasi manusia untuk bertukar informasi seketika.

Kedua, jangkauannya lebih meluas. Dengan teknologi maka ceramah seorang kiai di Cirebon dapat langsung didengar oleh manusia di seluruh dunia. Seluruh tulisan saya di Tribunnews telah diakses oleh santri Bina Insan Mulia dimanapun mereka berada.

Ketiga, lebih murah. Di banyak hal, teknologi memfasilitasi manusia untuk berkarya dengan biaya yang lebih rendah. Pembuatan film dengan teknologi akan mengurangi biaya. Dengan peralatan handphone saja, kini seseorang telah dapat membuat video dengan mudah dan murah. Dulu, untuk bikin video saja pasti biayanya mahal.

Dan keempat, lebih berkualitas. Dengan dukungan informasi yang lebih bagus dan kecanggihan teknologi yang semakin meningkat, maka produk yang dihasilkan teknologi akan semakin berbobot.

Artinya, menonton film adalah bagian penting dari pendidikan. Sama seperti di zaman Pak Harto dulu yang mewajibkan semua pelajar Indonesia untuk menonton film G 30 S PKI. Kala itu menontoh film adalah pendidikan yang menghibur.

Fixing Mindset Versus Developing Mindset

Dalam teori psikologi profesional dikenal dua istilah yang kerap dipakai untuk menjabarkan tipe cara berpikir seseorang. Ada orang yang menyimpulkan bahwa dirinya memang sudah tidak bisa berkembang lagi. Dia membatasi dirinya. Inilah yang disebut fixing mindset. Istilah agama menyebutnya sebagai orang yang menzholimi diri sendiri (dholimun linafsihi).

Dulu, di kalangan santri senior ada kritik dari para kiai yang mencerminkan cara berpikir fixing mindset ini. Katanya, al-ilmu yamutu bainal fahidzain. Perkembangan ilmu santri itu hanya sampai menikah. Begitu habis menikah, selesai sudah perkembangan ilmunya.

Ada kelompok orang yang berpikir bahwa dirinya masih terus berkembang, masih terus bisa maju, masih terus untuk bisa lebih besar. Inilah yang disebut developing mindset. Ihdinash shirothol mustaqim menyuruh kita untuk terus berkembang, tanpa batas, terus merebut peluang kebaikan (sabiqun bil khoirot).

Pendidikan Pesantren Bina Insan Mulia memiliki kepentingan yang sangat besar agar para santrinya menjadi pejuang yang sabiqun bil khoirat atau menganut paham developing mindset untuk urusan pengembangan diri, pengembangan ilmu dan keahlian, dan manfaatnya bagi masyarakat.

Dengan mewajibkan mereka nonton film, apalagi para pemerannya dihadirkan di pesantren, maka rasa percaya diri mereka untuk berprestasi atau berkarya di bidang produk digital menjadi semakin besar. Khususnya bagi santri-santri SMK Perfilman.

Riset di psikologi membuktikan bahwa dengan melihat karya orang lain akan memupuk rasa kepercayaan diri. Melihat film dari orang yang diajak berdialog akan memperkuat kepercayaan diri para santri.

Perlu kita pahami bahwa yang membuat seseorang tidak bisa berkarya seringkali bukan karena tidak mempunyai kemampuan, tetapi karena tidak percaya diri. Muhammad Ali, sang petinju legendaris dunia malah mengatakan bahwa yang sering membuat seseorang lari dari persoalan yang mestinya dia harus hadapi adalah soal kepercayaan diri.

Karena itu ada ungkapan bahwa yang membedakan antara orang hebat dan yang tidak hebat adalah 5 huruf dalam kata ‘tidak’. Orang hebat yakin bahwa dirinya mampu untuk menjadi hebat. Sementara orang yang lemah tidak yakin bahwa dirinya bisa hebat.

Selain untuk memperkuat kepercayaan diri para santri, dengan menonton film juga dapat dijadikan sebagai referensi. Untuk menghasilkan kualitas film yang bagus, anak-anak butuh referensi. Perlu banyak melihat film, pameran film, koreksi film, dan seterusnya.

Dengan menonton film, mereka memiliki referensi. Film yang bernafaskan Islam, yang menjunjung tinggi nilai-nilai keindonesiaan, nilai-nilai pendidikan itu seperti apa. Mereka membutuhkan referensi.

Selain referensi, menonton juga untuk menambah keberanian dalam berkompetisi. Semua bangsa di dunia ini terus berkompetisi. Untuk masuk dalam kompetisi itu maka perlu ada nyali.

Kompetisi bukan berarti mengalahkan orang lain. Kompetisi adalah menunjukkan kehebatan sebagai hasil dari suatu proses latihan dalam suatu ajang. Memang selalu ada kompetisi yang positif dan kompetisi yang negatif. Dengan menonton film ini, pesantren mempunyai kesempatan untuk memberikan modal kepada mereka untuk berkompetisi secara positif, baik sekarang ini maupun nanti.

Jadi, menonton film adalah bagian penting dari ijtihad pendidikan untuk menumbuhkan rasa percaya diri dalam berkarya bagi para santri, menolong industri kreatif yang dimotori para pemuda Indonesia, menginspirasi para santri agar mengisi zaman dengan konten yang bernilai.

Harapan saya, dari santri-santri Bina Insan Mulia saat ini akan lahir generasi muda Indonesia yang berkomitmen untuk mendakwahkan ajaran agama dengan berbagai cara dan media, dan salah satunya lewat film.

Berdakwah melalui jalur seni terbukti sudah pernah dilakukan oleh Wali Songo dan hasilnya sangat bagus. Islam mulai disebarkan di tanah Nusantara ini melalui jalur kultural sehingga tidak ada gejolak apa-apa di masyarakat, bahkan sebaliknya. Jika dulu medianya menggunakan wayang dan berbagai pertunjukan tradisional lain, maka sekarang ini perlu melihat film sebagai media dakwah juga.

Without the BoX Thinking adalah rubrik khusus di tribunnews.com di kanal Tribunner. berisi artikel tentang respon pendidikan Islam, khususnya pesantren terhadap perubahan zaman dan paparan best practices sebagai bahan sharing dan learning di Pesantren Bina Insan Mulia. Seluruh artikel ditulis oleh KH. Imam Jazuli, Lc, MA dan akan segera diterbitkan dalam bentuk buku. Selamat membaca.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini