Ghirah Politik NU akar rumput Jelang Pilpres 2024
Oleh: KH. Anies Maftuhin
TRIBUNNEWS.COM - Gonjang ganjing perang dingin antara PBNU dan PKB kian riuh. Saling lempar statement dan isu terkait "keberpolitikan" NU, baik sebagai jamaah maupun Jam'iyyah pun bertebaran di media massa dan media sosial.
Realitas perang dingin antara NU sabagai Jam'iyyah dan PKB "gerbang politik" jamaah NU pasca muktamar Lampung ini layak untuk disoroti secara cermat agar dinamika ini cepat terurai, sehingga Jam'iyyah dan jamaah NU bisa segera berkontribusi maksimal bagi kemaslahatan bangsa dan negara.
Adalah fakta bahwa mayoritas jamaah NU atau kaum nahdhiyyin di akar rumput masih mempercayai PKB sabagai kendaraan politik jamaah NU. Bahkan, secara struktural pun pengurus cabang NU di berbagai daerah masih ingin menunjukkan antusiasme mereka pada PKB dengan memberikan dukungan kepada Gus Muhaimin Iskandar untuk menjadi capres 2024.
Sejauh pengamatan saya, situasi serupa tak hanya nampak di Jawa Timur yang merupakan basis PKB, namun juga di daerah daerah lain. Pun, struktural struktural NU di luar Jawa pun punya ghirah yang sama ; memilki calon presiden --bukan wapres-- sendiri dari tubuh NU.
Namun sayang, ghirah yang kuat itu saat ini serasa seperti mendapat intervensi dari PBNU agar tak membesar dan menguat. Dipanggilnya beberapa pengurus PCNU oleh PBNU terkait kegiatan deklarasi dukungan kepada Gus Muhaimin sebagai capres 2024 adalah bukti tekanan "politis" tersebut.
Secara organisasi, mungkin tak salah bila Gus Yahya (GY) mengambil kebijakan tersebut. Namun, secara sosial politik, kebijakan itu menurut hemat penulis justru terlihat sebagai tindakan melawan arus dan nurani kaum nahdhiyyin yang ingin menyatukan aspirasi politiknya agar lebih optimal di panggung berbangsa dan bernegara.
Masuknya representasi partai partai politik selain PKB di kepengurusan PBNU juga menjadi soal tersendiri bagi akar rumput nahdhiyyin, baik struktural maupun kultural. Pasalnya, kondisi tersebut akan menjadi salah satu penyebab apirasi politik warga nahdhiyyin terpolarisasi dan bias dengan aneka kepentingan yang tak bisa dijamin keberpihakannya pada falsafah politik NU.
Sekedar urun rembug sebagai jamiyyah, NU dan PKB sesungguhnya adalah sebuah tim kesebalasan yang punya dua tim untuk dua liga. PBNU adalah tim utama yang harus fokus menghadapi kompetisi di liga utama, yakni memikirkan dan mengurus kemajuan peran NU sebagai gerbang besar NKRI dalam rangka mewujudkan cita cita kebangsaan dan kenegaraan Indonesia. Sementara PKB, sebagai partai politik yang lahir dari rahim Jam'iyyah NU adalah tim B yang harus terus meningkatkan performa kiprahnya di liga perpolitikan Indonesia.
Dengan ilustrasi tersebut, maka sesungguhnya persatuan dan kesatuan pikir serta sikap adalah sebuah keniscayaan bagi seluruh nahdhiyyin. Ya, bersatu dan bersepakat bahwa PKB dan PBNU adalah satu tim yang berbeda liga.
Dengan konsep tersebut, saya optimis NU bisa bergerak lebih akseleratif ke ranah ranah persoalan keummatan dan kebangsaan lain yang tentu sangat membutuhkan urun pikir dan karya para nahdhiyyin.
Artinya, kemelut perang dingin PBNU dan PKB harus segera disudahi dengan *Gerakan Nahdhiyyin Bersatu*. Jelasnya, jamaah NU harus bersatu agar Jam'iyyah NU makin bermanfaat dan bermartabat, serta penuh dengan barokah di Dunya wal akhirah. -amf-
Anies Maftuhin
Kader kultural NU akar rumput. Pengasuh Ponpes Wali Salatiga