Sebagai senator yang mewakili Sulawesi Tengah, saya menyatakan mendukung penyelesaian kasus Nurhayati sesuai hukum acara pidana yang berlaku.
Sebelumnya penyelesaian kasus Nurhayati di Kabupaten Cirebon ini menyita perhatian publik sepekan terakhir.
Nurhayati ditetapkan tersangka oleh penyidik dan Penuntut Umum telah nyatakan lengkap (P-21), namun berkembang pemberitaan bahwa Nurhayati adalah saksi yang melaporkan kepala desanya karena melakukan korupsi.
Mekanisme hukum acara pidana yang saya maksud adalah "Apabila berkas sudah P-21 maka artinya berkas telah dinyatakan lengkap secara formal dan materiil untuk disidangkan."
Dan kewajiban penyidik sesuai hukum acara pidana adalah menyerahkan tersangka dan barang bukti kepada penuntut umum bukan malah menghentikan penyidikan.
SP3 dapat diterbitkan oleh penyidik sebelum berkas dinyatakan lengkap secara formal maupun materiil oleh Penuntut Umum.
Artinya apabila perkara sudah P-21, yang mempunyai kewenangan untuk menghentikan kasus Nurhayati adalah kejaksaan.
Itu atas dasar asas oportunitas dan dominis litis Jaksa.
Seperti kasus-kasus sebelumnya, ada pencurian motor untuk memenuhi biaya hidup misalnya. Itu yang mengesampingkan perkara adalah Kejaksaan.
Saya mendukung Nurhayati dilepaskan dari jerat hukum namun harus sesuai Hukum Acara Pidana yang berlaku.
Bahwa sebuah perkara pidana harus dibuka seterang-terangnya dan tidak menutupi perkara yang lebih besar dengan mengedepankan berbagai isu, misalnya isu whistleblower.
Karena mungkin saja terjadi seorang wistleblower dihukum karena perannya dalam tindak pidana yang dilaporkannya begitu signifikan.
Atau bahkan whistleblower hanya melaporkan kasus yang kecil tapi ia menutupi kasus yang lebih besar yang telah dilakukannya.
Oleh karena memandang sebuah kasus pidana seharusnya komprehensif dan penuh kearifan.
Penulis: Abdul Rahman Thaha
Anggota DPD RI