Kakek yang tetap perkasa di usia 81 tahun ini ingin mengangkat rakyat bawah dengan mengucurkan kredit bagi mereka “untuk menciptakan pembangunan ekonomi dan sosial dari bawah,” tambahnya.
Jika ekomomi kerakyatan kuat, demo terhadap JHT pasti tidak akan terjadi. Usia produktif kita semestinya diberdayakan sehingga bukan saja membuat mereka sejahtera tetapi juga membuat Indonesia semakin berjaya. Bagaimana hal itu bisa terjadi jika untuk hidup normal di kota sebesar DKI saja mereka menderita karena banjir rutin tiap tahun? Pengerukan sungai yang merupakan tugas pemprov semestinya dilakukan tanpa campur tangan pengadilan karena suara rakyat yang tak didengar. Bukan pula sekadar pamer karya di media sosial, apalagi pamer harta yang justru memperdalam jurang pemisah antara yang kaya dan miskin.
Mandalika Bukan Untuk Pamer
Pamer—apa pun—bukan hanya membikin silau orang, tetapi juga bisa membuat rakyat tergiur untuk melakukan investasi yang syur. Begitu tercebur, afiliator kabur. Ternyata mereka bukan sakadar flexing, tetapi merupakan cara marketing.
Di satu sisi mereka bisa membuat pasangan bling bling, namun di sisi lain membuat pengikut—baca pengekor—pusing tujuh keliling karena harta yang tidak seberapa terpelanting. Itulah sebabnya Bruce Lee berkata, “Pamer adalah ide bodoh tentang kemuliaan.” Saya lebih senang mengganti kata ‘kemuliaan’ dengan ‘pencitraan’.
Sebagus-bagusnya konsep, konsep dan konsep, apalagi kalau dilakukan hanya untuk pencitraan, tidak ada artinya tanpa kerja, kerja dan kerja yang terukur.
Pembangunan sirkuit Mandalika beserta hingar bingar kesuksesan balap MotoGP baru usai. Euforia kemegahan dan kemeriahannya masih terasa. Para penonton yang beruntung bisa menyaksikan secara langsung banyak yang pamer di media sosialnya. Bangga boleh, santai jangan.
Pekerjaan yang jauh lebih besar menanti. Bagaimana dengan kelanjutan pembangunan IKN? Pembuktiannya adalah soal waktu. Hasilnya membuat Indonesia semakin makmur dan termasyhur atau justru terendam lumpur dan hancur terkubur.(*)