TRIBUNNEWS.COM - Beberapa waktu terakhir ini, isu terkait lingkungan global mulai muncul.
Keadaan ini semakin diperparah seiring dengan kurangnya kepedulian masyarakat terhadap lingkungan sekitar.
Beberapa isu lingkungan yang sering muncul saat ini adalah pemanasan global akibat meningkatnya jumlah gas rumah kaca diatmosfer yang menyebabkan energi panas dipantulkan kembali ke permukaan sehingga suhu bumi menjadi lebih panas.
Salah satu faktor penyebab pemanasan global adalah penggundulan hutan atau deforestasi.
Baca juga: Pembangunan Ekowisata di Hutan Bowosie Labuan Bajo Diklaim Sudah Didukung Masyarakat Adat
Baca juga: Di Peringatan HPN 2022, Ketua DPD RI Sorot Maraknya Deforestasi
Penggundulan hutan merupakan sebuah peristiwa yang sering terjadi dan telah menjadi permasalahan yang serius di tingkat global ataupun nasional.
Menurut KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia), deforestasi adalah aktivitas penebangan hutan komersial dalam skala besar.
Sedangkan, menurut Yakin (2015), deforestasi adalah suatu keadaan kawasan hutan yang mengalami penurunan akibat konversi lahan untuk berbagai keperluan, seperti membangun infrastruktur, pemukiman warga, lahan pertanian, lahan pertambangan, dan lahan perkebunan.
Buku rekor dunia Guinnes (2008) menyatakan bahwa Indonesia tercatat sebagai negara dengan hutan yang paling cepat mengalami kerusakan.
Pada tahun 1985-1998, tingkat deforestasi hutan di Indonesia berkisar 1,6 sampai 1,8 juta hektar setiap tahun.
Kemudian, pada tahun 2000, deforestasi di Indonesia terus mengalami peningkatan sekitar 2 juta hektar (Education, 2017).
Angka deforestasi yang tinggi setiap tahun akan mengakibatkan hilangnya lahan hutan dalam jumlah besar sehingga dapat memberikan dampak negatif bagi keberlangsungan lingkungan hidup.
Berdasarkan data dari Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menyatakan bahwa angka deforestasi tahun 2013-2014 mengalami penurunan.
Dari angka 0,73 juta hektar pada tahun sebelumnya menjadi 0,4 juta hektar setiap tahunnya. Kemudian, pada tahun 2014-2015, angka deforestasi kembali mengalami peningkatan menjadi 1,09 juta hektar.
Lalu, pada tahun 2015-2016, angka deforestasi mengalami penurunan pada angka sekitar 0,63 juta hektar setiap tahunnya dan kembali turun pada angka 0,48 juta hektar pada tahun 2016-2017.
Penurunan dan peningkatan laju deforestasi hutan setiap tahunnya disebabkan oleh berbagai aktivitas manusia.
Menurut Greenpeace, angka deforestasi meningkat sekitar 76-80 % disebabkan oleh meningkatnya angka pembalakan liar, penebangan pohon secara illegal, dan kebakaran hutan.
Pembalakan liar atau penebangan liar (illegal logging) adalah kegiatan penebangan, pengangkutan, dan penjualan kayu yang tidak sah dan tidak memiliki izin dari otoritas setempat.
Jumlah kayu di hutan alam yang termasuk dalam kegiatan illegal logging sekitar 50 % .
Pembalakan liar belum dapat dihentikan secara efektif sampai saat ini.
Sedangkan, kebakaran hutan yang terjadi setiap tahun menyebabkan jutaan hektar kawasan hutan mengalami kerusakan secara besar-besaran.
Kebakaran hutan yang terjadi dapat menyebabkan hilangnya plasma nutfah, mengancam kesehatan manusia, menimbulkan risiko kehilangan materi, dan bahkan dapat merenggut nyawa.
Selain ketiga faktor tersebut, ada beberapa faktor lain yang menjadi penyebab meningkatnya angka deforestasi atau penggundulan hutan antara lain konversi pertanian dan penggunaan kayu bakar.
Konversi pertanian ini dilakukan seiring dengan peningkatan populasi manusia.
Populasi manusia yang terus meningkat menyebabkan kebutuhan pangan juga turut meningkat.
Pemenuhan kebutuhan tersebut dilakikan dengan cara mengubah fungsi hutan menjadi lahan perkebunan, salah satunya perluasan perkebunan kelapa sawit akibat tingginya permintaan terhadap kelapa sawit.
Kemudian, penggunaan kayu bakar juga menjadi penyebab meningkatnya angka deforestasi.
Kebutuhan masyarakat terhadap kayu bakar terbilang cukup tinggi karena sebagian penduduk dunia masih menggunakan kayu sebagai bahan bakar sehari-hari.
Bahkan, faktor pendorong dari sebagian besar illegal logging disebabkan oleh permintaan masyarakat terhadap kayu bakar.
Selanjutnya, pengawasan yang lemah dan metode yang digunakan dalam mengelola hutan yang kurang tepat juga dapat memperparah konversi lahan hutan untuk kepentingan lainnya.
Selain itu, kebiasaan masyarakat untuk melakukan kegiatan perladangan berpindah-pindah juga dapat menyebabkan kerusakan hutan.
Kerusakan hutan dan penyusutan hutan yang terjadi akibat beberapa faktor di atas dapat memberikan dampak negatif bagi kelangsungan hidup manusia dan lingkungan.
Pertama, keanekaragaman hayati. Kerusakan hutan akibat deforestasi dapat menyebabkan hilangnya keanekaragaman hayati.
Hal tersebut dikarenakan hutan memiliki lebih dari 80 % keankeragaman hayati.
Apabila hutan rusak atau hilang, maka keanekaragaman juga akan musnah atau hilang.
Selain itu, hutan juga merupakan habitat asli dari satwa dan tumbuhan.
Apabila hutan rusak, maka satwa dan tumbuhan akan kehilangan habitat aslinya, bahkan satwa dan tumbuhan tersebut dapat mati.
Kedua, erosi.
Erosi terjadi karena adanya pengikisan tanah akibat dari tidak tertutupnya tanah oleh vegetasi hutan sehingga tingkat kesuburan tanah berkurang.
Akibatnya, terjadilah bencana banjir dan tanah longsor.
Ketiga, mempengaruhi siklus air. Kerusakan hutan dan hilangnya beberapa tanaman hutan dapat menyebabkan siklus air terganggu akibat hilangnya tutupan lahan sehingga penguapan air tanah oleh pohon menjadi berkurang.
Keempat, hilangnya mata pencaharian masyarakat.
Banyak masyarakat yang tergantung kepada hasil hutan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Apabila hutan mengalami kerusakan, maka masyarakat akan kehilangan mata pencaharian dan kebutuhan mereka tidak dapat terpenuhi.
Dampak lain dari deforestasi adalah perubahan iklim. Deforestasi dapat meningkatkan kadar karbondioksida di bumi sehingga menyebabkan pemanasan global (global warming).
Hal tersebut dibuktikan dengan total emisi gas di bumi sekitar 6-17 % dari total emisi global.
Rusaknya hutan akibat deforestasi dapat mengakibatkan sejumlah karbondioksida akan terlepas ke atmosfer dan akan memperparah kondisi perubahan iklim.
Hal tersebut dikarenakan hutan menjadi tempat penyimpanan dan daur ulang karbondioksida yang besar.
Deforestasi juga dapat mengakibatkan berkurangnya kemampuan bumi untuk menyerap kembali karbondioksida dari atmosfer karena penyerapan gas karbondioksida melalui proses fotosistesis tidak maksimal akibat dari jumlah pohon yang semakin berkurang.
Deforestasi yang terjadi telah menyebabkan banyak dampak negatif bagi kehidupan manusia dan lingkungan sehingga diperlukan adanya pencegahan yang efektif untuk menghentikannya.
Berikut pencegahan yang dapat dilakukan:
1. Melakukan sistem tebang pilih
Sistem tebang pilih dilakukan untuk menjaga keberlangsungan eksosistem hutan yang diiringi dengan penanaman kembali (reboisasi).
2. Penanaman kembali (reboisasi)
Demi tetap terjaganya keberlangsungan ekosistem hutan, maka dibutuhkan penanaman kembali agar fungsi hutan dapat berjalan dengan baik.
3. Pengembalian lahan terdegradasi
Peluang untuk memindahkan pengembangan agrobisnis ke beberapa lahan yang terdegradasi telah terbuka dan mempunyai keanekaragaman hayati dan cadangan karbondioksida yang rendah.
4. Pengawasan hutan dan penegakan hukum
Teknologi satelit merupakan teknologi yang dimanfaatkan untuk pengawasan hutan dalam rangka mengatasi deforestasi. Program teknologi satelit yang digunakan antara lain Forest Cover Analyzer, Eyes On The Forest dan Global Forest Watch 2.0. Teknologi ini dapat melihat kapan dan dimana terjadi perubahan wilayah hutan melalui internet. Selain itu, penegakan hukum oleh pemerintah juga sangat diperlukan agar masyarakat merasa jera.
Dengan melakukan beberapa hal pencegahan di atas, diharapkan dapat menurunkan angka deforestasi atau pengggundulan hutan di negara dunia, salah satunya di Indonesia.
Rizqi Nabila Ramadhani
Mahasiswa Semester: 2 Fakultas: Kedokteran Universitas Airlangga Surabaya