Oleh Moch S Hendrowijono *)
KABAR jatuhnya Sri Lanka ke jurang kemiskinan sangat menyayat hati yang akan lebih meruntuhkan ketegaran kita, kalau benar akan ada 59 negara lain yang bernasib sama dengan Sri Lanka. Jangan sampai Indonesia masuk daftarnya, bahkan walaupun angkanya akan lebih dari 100-an.
Indonesia tidak seperti beberapa negara yang sudah, sedang dan akan kolaps yang terjebak utang untuk membangun prasarana tanpa memperhitungkan kemampuan keuangannya. Walau kita juga pernah terkecoh membangun bandara yang tidak punya prasarana jalan, dengan letak yang “tidak ekonomis”, tidak mudah dicapai.
Jalan raya menjadi agregat ekonomi, yang tumbuh begitu lalu lintas logistik lancar, aman dan murah. Ribuan kilometer jalan tol dibangun lebih panjang dibanding masa pemerintahan rezim mana pun.
Sri Lanka mengandalkan utang luar negeri untuk membangun karena tidak punya sumber daya lokal, apalagi negerinya terus dikoyak perang saudara. Mengembangkan pariwisata untuk mendapat uang asing semula memberi hasil bagus, namun pandemi Covid-19 menghancurkan impian.
Sebanyak 45 persen dari 22 juta warga Sri Lanka terbiasa dibuai subsidi yang bermodalkan pinjaman asing. Tidak seperti negara lebih kecil, Luxemburg di Eropa Barat atau Singapura padahal keduanya juga tidak punya banyak sumber daya alam, bahkan air minum Singapura diimpor dari Malaysia.
Pendapatan per kapita Luxemburg nyaris 118.000 dollar AS (Rp 1,77 miliar), luas negerinya hanya 2.586 km2, penduduk sekitar 600.000 orang, Singapura, luasnya sedikit lebih besar dari DKI Jakarta, 722 km2, pendapatan per kapitanya sekitar 71.000 dollar AS (98.000 dollar Singapura).
Baca juga: Tower Telekomunikasi yang Diserang KKB Papua Termasuk Proyek Strategis Nasional
Saat pandemi di Sri Lanka, pariwisata, transportasi, hotel, bisnis penyewaan hunian dan kantor kolaps, ditambah harga barang-barang impor, BBM, obat-obatan melambung, sebab pemerintah tidak punya cadangan devisa yang cukup. Sopir angkot perlu tiga hari antre BBM, barang impor sulit dicari, akhirnya tidak ada yang bisa dikerjakan, hanya WFN, work for nothing.
Sebenarnya kondisinya sama dengan kita, WFH, PJJ (pembelajaran jarak jauh), obyek wisata pendulang dolar lumpuh. Tingkat hunian hotel jatuh ke angka hampir nol karena langkanya tamu, ruang-ruang kantor pun kosong karena karyawan harus WFH.
Telekomunikasi penyelamat
Bedanya, layanan telekomunikasi di Indonesia,bergerak bebas yang mampu menembus semua batas dan kemampuan. Sisi baik pandemi, berhasil menempatkan telekomunikasi sebagai penyelamat ekonomi bangsa, di balik PHK ratusan ribu pekerja.
Dalam keadaan normal saja, telekomunikasi (seluler) sudah ikut memajukan ekonomi satu bangsa. Menurut ITU (International Telecommunication Union), juga kajian Bank Dunia (2000), setiap kenaikan 10 % penetrasi broadband berkontribusi sebesar 1,38 % terhadap produk domestik bruto (PDB) per kapita.
Ketika terpepet keadaan, ide-ide muncul untuk orang yang optimis dan PHK justru memunculkan usaha-usaha perorangan dan UMKM (usaha mikro, kecil dan menengah berkembang.
Betapa banyak warung kopi bermunculan, bolen pisang, kerupuk palembang, atau bento yang dijajakan di pasar online, yang sekaligus mengembangkan jasa ekspedisi dan ride hailing, seperti Gojek, Grab dan Maxim.