Pemilu Pilar Demokrasi: Tantangan dan Dampaknya bagi Masa Depan Indonesia
Oleh: Fetty Azizah
Alumni Pascasarjana Kebijakan Publik dari Deakin University Australia
DALAM beberapa tahun terakhir, pemilu di Indonesia sering kali dipandang sebagai sebuah teater demokrasi yang belum sepenuhnya mencerminkan prinsip-prinsip demokrasi yang sejati.
Menurut Sjaiful Mujani dan R. William Liddle (2021), pemilu yang bebas dan adil merupakan unsur dasar dari demokrasi yang berjalan dengan baik.
Namun, isu kecurangan pemilu menjadi semakin mengkhawatirkan, di mana lembaga-lembaga pengawas seperti Bawaslu dan KPU sering kali dianggap tidak memiliki kekuatan yang cukup untuk menegakkan keadilan.
Hal ini menimbulkan pertanyaan penting: Apakah pemilu di Indonesia benar-benar mencerminkan suara rakyat, ataukah hanya sekadar formalitas?
Dugaan kecurangan pemilu merupakan tantangan bagi negara yang berkomitmen pada demokrasi.
Mobilisasi masyarakat, baik melalui aksi koersif maupun persuasif, mencerminkan lemahnya demokrasi dan rendahnya kedaulatan politik masyarakat dalam menentukan sikap politiknya.
Sejarah menunjukkan kalau pada era Orde Baru, struktur birokrasi dan Golkar mewajibkan pegawai negeri sipil untuk memilih Golkar sebagai kekuatan politik utama.
Dengan cara ini, Golkar selalu memenangkan kontestasi pemilu selama tiga dekade.
Di Myanmar, pada era junta militer, mobilisasi tentara di desa-desa dilakukan dengan cara yang mengarah pada paksaan, di mana militer dapat mendatangi rumah-rumah untuk memobilisasi dukungan bagi partai yang didukung oleh junta.
Di era reformasi Indonesia, yang dimulai dengan penumbangan rezim Orde Baru, membawa harapan bagi masyarakat sipil untuk terciptanya pemilu yang transparan dan bebas dari rekayasa.