TRIBUNNEWS.COM - Disrupsi teknologi 4.0 meniscayakan kreasi dan inovasi.
Termasuk di dunia seni rupa. Mereka yang statis tanpa kreasi dan inovasi akan terlindas oleh laju roda zaman.
Sebab itu, tak harus di atas rel merupakan keniscayaan.
Demikianlah amanat “suci” dari Pameran Karya Seni Rupa “Tidak Harus di Atas Rel” yang digelar di Institut Francais Indonesia (IFI) di Jalan Wijaya I, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, 2-15 September 2022.
Pameran dibuka oleh Konselor Kerja Sama dan Kebudayaan Direktur IFI Stephane Dovert, Jumat (2/9/2022).
Pameran ini menampilkan karya-karya unggulan tiga perupa, yakni Chryshnanda Dwilaksana, Ireng Halimun dan Kembang Sepatu yang sudah malang-melintang di dunia pameran seni rupa.
Baca juga: Mengenal Lukisan-lukisan Karya Raden Saleh, Penangkapan Pangeran Diponegoro hingga Berburu Banteng
Chyshnanda sendiri adalah perupa berlatar belakang polisi atau bhayangkara dengan pangkat brigadir jenderal atau bintang satu di pundaknya.
Sedangkan Ireng Halimun dan Kembang Sepatu adalah lulusan jurusan seni rupa Universitas Negeri Jakarta (UNJ). Ireng “nyambi” sebagai penulis dan penyair, sedangkan Kembang Sepatu “nyambi” sebagai guru.
“Memang, disrupsi teknologi begitu cepat, melampaui ekspektasi dan prediksi. Hal baru dan kebaruan menjadi sesuatu kekuatan untuk dapat bertahan bahkan tumbuh dan berkembang.
Demikan juga dengan seni sebagai pilar peradaban tatkala hanya statis dan begitu-begitu saja akan dianggap kuno, menyebalkan, membosankan, dan ditinggalkan,” kata Kembang Sepatu dalam rilisnya, Senin (12/9/2022).
Kreativitas dan inovasi yang menginspirasi, kata KS, panggilan akrab Kembang Sepatu, merupakan proses disrupsi yang dinamis.
“Seni merupakan bagian dari kehidupan demi semakin termanusiawinya manusia. Proses kreatif dapat memberdayakan segala sesuatu dalam kehidupan sehari-hari. Konseptual, kontekstual, dan peradaban manusia dapat diekspresikan pada karya yang dapat menembus batas, ruang, dan waktu. Dalam proses kreatif diperlukan media untuk menjembataninya agar dapat didialogkan lebih luas, juga untuk mem-‘branding’, mengemas, dan memasarkannya,” jelasnya.
Menurut KS, konsep “Tidak Harus di Atas Rel” bukan sebatas materialnya, melainkan pada konsep dan konteks yang ada dalam gatra kehidupan di semua lini.
“Tidak Harus di Atas Rel’ merupakan upaya mencari dan menemukan sesuatu yang baru.
“Tentu saja imajinasi dan cara berpikir konseptual dan kontekstual di luar ‘mainstream’, ‘out of the box’, bahkan ‘no box’ namun tetap berpegang pada keutamaan (core value)-nya. Semua itu memang sudah semestinya dilakukan dengan konsisten dan komitmen tinggi,” paparnya.
Kemampuan berimajinasi, kata KS, merupakan kemampuan mengabstraksikan fenomena dengan cara berpikir “helicopter view” – mampu melihat ke depan, belakang, atas, bawah, dan bisa kembali ke titik awal.
Melepas belenggu ‘captive mind’-nya. Membuka cakrawala yang merdeka dan memerdekakan.
“Tidak Harus di Atas Rel” memerlukan keberanian, kemampuan mendobrak kemapanan, bahkan berisiko tinggi. Tunas baru tidak akan muncul kalau tidak di-‘pruning’ atau dipangkasi.
“Walaupun ‘Tidak Harus di Atas Rel’ namun kemasan tetap pada kemanusiaan dan peradaban. Masing-masing akan menampilkan gagasan, pemikiran, dan karya yang mungkin tidak lazim. Tentu bukan pada materialnya atau ruangnya melainkan juga pada konsepnya,” terang KS.
Hedonis
Diantara karya-karya tak lazim itu ditampilkan Kembang Sepatu, antara lain “Cover Up” (100 x 100 cm. 2022), “Kamuflase” (80 x 100 cm, 2022), dan “Flexing” (100 x 100 cm, 2022) yang menurut Kembang Sepatu ditaksir berat oleh Stephane Dovert.
Kembang Sepatu pun menyoroti dampak negatif dari media sosial melalui karya-karyanya. Perkembangan teknologi digital, katanya, sangat memengaruhi perilaku masyarakat dalam kehidupan.
“Dampak negatif dari media sosial mendorong munculnya sikap hedonisme dan individualisme yang semakin terasa mendasar di keseluruhan lapisan masyarakat,” cetusnya.
Semua kesuksesan, lanjut dia lagi, selalu diukur dengan materi.
“Hal ini yang menjadikan banyak orang menghalalkan segala cara termasuk merampas hak-hak orang lain, mengabaikan norma agama dan norma sosial, bahkan merusak tatanan hukum. Kondisi seperti inilah yang selalu menimbulkan kegelisahan yang memantik energi untuk melahirkan karya,” jelas Kembang Sepatu.
Ireng Halimun antara lain menampilkan karya “Benak yang Kosong” (96 x 112 cm, 2022). “Dalam kehidupan, manusia selalu dihadapkan dengan berbagai pilihan. Sikap menerima dan memilih harus dilengkapi pula dengan kecerdasan dalam menelan dan memilih. Jika manusia menerima berita sampah (hoaks) begitu saja, mungkin pikiran dan sikapnya akan melahirkan radikalisme, kontroversi, atau bahkan kosong sama sekali,” kata Ireng Halimun menjelaskan makna karyanya itu.
Adapun Chrysnanda Dwilaksana yang nama dan gelar lengkapnya adalah Profesor Doktor Brigadir Jenderal Polisi Cryshnanda MSi antara lain menampilkan karya “Imaji Seraut Wajah” (2022).
Dalam pameran ini ia hadirkan karya-karya yang berukuran kecil dengan media yang tidak semuanya menggunakan kanvas, di mana semuanya saling berkaitan dengan “Imajinasi Seraut Wajah”.
“Konsep yang ditunjukkan dalam rupa berkaitan dengan jiwa, rasa dan indera. Ketiganya memengaruhi satu sama lain, dalam pikiran, perkataan dan perbuatan. ‘Imaji Seraut Wajah’ merefleksikan makna dari fenomena dalam rupa ekspresi jiwa bahagia, sedih, malu, marah, kecewa, dan bingung,” katanya.