News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Tribunners

Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.

Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.

Mengedepankan Jurnalisme Kepemimpinan

Editor: Adi Suhendi
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Ilustrasi jurnalis. Leadership Journalism dalah praktik jurnalisme yang menekankan pada motif untuk mentransformasikan elan kepemimpinan yang menstimulir energi positif munculnya kepemimpinan dalam berbagai aspeknya untuk dapat menginspirasi pembaca.

Kepemimpinan dengan demikian, yang melandasi penulisan.

Menulis, dengan tujuan berlapis. Bahwa menulis untuk menebar kedamaian, itu bagus-bagus saja.

Menulis demi mentransformasi kepemimpinan, itu baru tendendius.

Hal itu menjadikannya memiliki bobot motivatif, more than writing! Jadi, praktik menulis berita ada beberapa level.
Level berita standar: menulis sebatas memenuhi syarat minimal 5W+H (jurnalis yang baru melakukan praktek penulisan berita); kedua, level menengah: menulis untuk membangun damai (jurnalisme plus); ketiga, level advance: jurnalisme plus-plus (plus membangun damai, plus mentransformasi kepemimpinan).

Baca juga: Menguak Sisi Lain Jurnalisme Investigasi Melalui Podcast Aiman Witjaksono

Nawaitu atau niat mentransformasi kepemimpinan, perlu dibedakan dari memanaskan (ngompori, memicu amarah).

Sekilas, hampir mirip, sama-sama memicu atau menstimulasi, bedanya, yang satu menstimulasi perubahan positif; yang lain menstimulasi perubahan yang memperkeruh situasi (kontra perdamaian).

Untuk jurnalis, anda termasukkah? Termasuk yang menstimulir perubahan positif, atau malah memperkeruh situasi –demi konten, menarik perhatian pembaca, alih-alih mengedukasi pembaca agar lebih mengerti duduk persoalannya tapi malah memicu kegaduhan dan meluaskan permasalahan.

Salah satu “kekayaan pers” yang tidak diinginkan, kian banyak mass media yang tidak bertanggung jawab.

Hal itu mencuatkan dua kontinum: media tak bertanggung jawab (yang kerap dipandang media buzzer) dan media sosial yang lebih tidak terkontrol kredibilitasnya. Keduanya “mengabdi” pada niat buruk yang sama: menciptakan, meramaikan, menambah “kegaduhan”. Bedanya, media “resmi” memiliki pengelola, ada struktur keredaksian yang bertanggungjawab, namun untuk media sosial nyaris liar, tidak ada struktur keredaksian yang “menyaring”, semua terlontar bebas tanpa tanggung jawab, dan tidak ada mekanisme kontrol dan penyaringan.

UU ITE, Seberapa Pentingkah?

Dalam konteks ini, pihak yang berwajib sering menjadi “pihak bertanggungjawab” dalam pengertian, mengambil tindakan hukum yang diperlukan.

Perlu diketahui, ada Undang-undang yang perlu diketahui , terutama pengguna medsos.

Menyambaikan berita bohong, dilarang dalam pasal 28 ayat (1) UU ITE. Kalimatnya,”Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan berita bohong dan menyesatkan yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam transaksi elektronik.

Pada UU yang sama, ayat (2) berbunyi,” Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA).”

Halaman
1234
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini