Oleh: Reza Indragiri Amriel
Konsultan, Lentera Anak Foundation
TRIBUNNERS - Di Bali, polisi membongkar dokter gigi gadungan yang melakukan praktik aborsi terhadap ribuan janin.
Menyusul, di Jakarta Timur, praktik jahat serupa baru saja terungkap.
Sayangnya, kasus aborsi sekaligus memperlihatkan wajah diskriminatif hukum positif kita.
Ketika anak yang telah dilahirkan dijadikan sebagai sasaran kekerasan sehingga meninggal dunia, pelaku diancam pidana maksimal 15 tahun.
Tapi terhadap anak yang dibunuh sebelum dilahirkan, berarti aborsi, hukuman maksimal bagi pelaku cuma 10 tahun. Seolah anak yang belum dilahirkan punya kasta lebih rendah.
Padahal, dipastikan tidak ada satu pasal pun dalam UU Perlindungan Anak yang membeda-bedakan antara anak yang belum dan anak yang sudah dilahirkan.
Satu hal lagi, ketika predator seksual memangsa beberapa anak, si pelaku bisa dijatuhi hukuman seumur hidup atau pun hukuman mati.
Tapi pelaku yang mengaborsi banyak anak, hukumannya tetap maksimal 10 tahun.
Sudah saatnya polisi melakukan terobosan hukum.
Pelaku aborsi tidak mungkin berpikir sekonyong-konyong ingin mengaborsi.
Proses berpikir mereka pasti seperti pelaku kejahatan berencana.
Targetnya sudah ditentukan, insentif atau manfaatnya sudah ditimbang-timbang, sumber dayanya sudah dipilih, dan risikonya pun sudah diantisipasi.
Jadi, apa susahnya bagi polisi untuk men-juncto-kan pasal aborsi dengan pasal pembunuhan berencana.