Oleh:
Bambang Soesatyo
Ketua MPR RI/Ketua Dewan Pembina Alumni Doktor Ilmu Hukum UNPAD/Dosen Tetap Fakultas Hukum, Ilmu Sosial & Ilmu Politik (FHISIP) Universitas Terbuka dan Universitas Perwira Purbalingga (UNPERBA)
TRIBUNNERS - Ketika warganet dari berbagai wilayah ramai-ramai melapor kepada Presiden Joko Widodo melalui media sosial tentang jalan rusak di daerahnya, itulah ironi yang nyaris tak berkesudahan akibat minimnya kepedulian aparatur daerah.
Padahal, ada ratusan triliun dana pemerintah daerah (Pemda) masih mengendap di perbankan yang mestinya bisa digunakan untuk merawat dan memperbaiki semua ruas jalan yang rusak itu.
Sebagai pengguna, wajar jika masyarakat sangat peduli. Sebab, ruas jalan berkait langsung dengan aktivitas produksi dan distribusi serta kelancaran mobilitas warga. Sebaliknya, entah apa yang menjadi kepedulian sejumlah Pemda terhadap kerusakan infrastruktur dasar itu. Karena kepedulian warga nyaris tak pernah ditanggapi otoritas setempat, keluh-kesah mereka akhirnya disuarakan di ruang publik, bahkan melaporkannya langsung kepada Kepala Negara.
Banyak Pemda tak mau belajar tentang akibatnya jika masyarakat sudah bersuara. Padahal, sudah ada fakta untuk dijadikan pelajaran. Masih ingat dengan peristiwa perjalanan panjang utusan petani jeruk dari desa Liang Melas Datas, Kabupaten Karo, Provinsi Sumatera Utara, menuju Istana Merdeka, Jakarta?
Peristiwa itu terjadi pada pekan pertama Desember 2021. Setelah menempuh perjalanan sangat jauh dengan menumpang truk yang membawa jeruk, enam petani utusan masyarakat desa Liang Melas Datas itu diterima Presiden Joko Widodo.
Kepada Presiden, mereka melapor dan meminta perhatian Presiden untuk kondisi jalan yang rusak di daerahnya, meliputi enam desa dan tiga dusun di Liang Melas Datas. Selain menyampaikan aspirasi, mereka juga membawa tiga ton buah jeruk sebagai oleh-oleh untuk Presiden. Pemerintah pusat pun turun tangan langsung. Jalan di desa itu sudah diperbaiki, dan baru-baru ini warga setempat mengungkap rasa syukur mereka dengan berkonvoi di ruas jalan desa yang sudah mulus.
Sangat disayangkan karena fakta itu ternyata diabaikan begitu saja oleh banyak Pemda. Untuk memahami kondisi terkini jalan di semua wilayah, Badan Pusat Statistik (BPS) sudah menyiapkan data tentang Statistik Transportasi Darat 2021 yang dirilis pada November 2022. Statistik yang cukup rinci itu mencatat bahwa panjang jalan Indonesia pada 2021 mencapai 546.116 kilometer, di luar jalan tol.
Dari akumulasi itu, proporsi jalan kabupaten atau kota menjadi yang terbesar dengan panjang 444,548 kilometer atau 81,4 persen; jalan negara 8,61 persen atau 47.017 kilometer; jalan nasional 9,99 persen atau sepanjang 54.551 kilometer. Dilaporkan juga bahwa saat itu 42,6 persen atau 232.644 kilometer jalan dalam kondisi baik.
Statistik yang sama juga menampilkan catatan tentang kondisi jalan rusak, baik kerusakan pada jalan negara, provinsi maupun jalan kabupaten. Rinciannya, 139.174 kilometer (25,49 persen) dalam kondisi sedang, 87.454 kilometer (16,01 persen) rusak, dan 86.844 kilometer (15,9 persen) dalam kondisi rusak berat. Jalan rusak berat sebagian besar terlihat pada jalan kabupaten atau kota, yakni sepanjang 79.256 kilometer.
Jika saja statistik yang dipersembahkan BPS ini disimak semua Pemda, pasti akan muncul kepedulian. Sebab, dari kepedulian, akan lahir semangat melakukan perbaikan untuk kemudian dimasukan dalam radar perencanaan pembangunan dan belanja daerah. Namun, kepedulian itu terkesan demikian minimnya, sehingga mendorong masyarakat menyuarakan kecewa dan keluh kesah mereka di ruang publik.
Ketika Presiden memberi kesempatan bagi warga untuk melaporkan persoalan jalan rusak, responsnya termasuk luar biasa. Laporan warga tentang lokasi jalan rusak itu masuk ke akun media sosial Presiden seperti Instagram, Twitter, hingga Facebook. Hingga beberapa hari lalu, total laporan yang masuk sudah mencapai 7.400 aduan lokasi jalan rusak.
Semua aduan itu langsung ditanggapi, terutama karena sangat mempengaruhi produktivitas masyarakat dan kelancaran distribusi barang serta jasa. Presiden pun memastikan pemerintah pusat akan membantu perbaikan jalan rusak di beberapa provinsi, dan menugaskan Kementerian PUPR mengeksekusi perbaikan itu mulai Juli 2023.
Dan, berpijak pada Instruksi Presiden (Inpres) No 3 Tahun 2023 tentang Percepatan Peningkatan Konektivitas Jalan Daerah, pemerintah pusat mengalokasikan anggaran Rp 32,7 triliun untuk perbaikan jalan rusak sepanjang tahun ini. Kementerian PUPR akan menggunakan anggaran Rp 14,9 triliun untuk perbaikan jalan rusak di beberapa daerah, termasuk di Lampung hingga Sumatera Utara.
Dengan inisiatif dari Presiden itu, semua daerah boleh berharap jalan rusak di wilayahnya akan diperbaiki. Kalau Pemda setempat tidak peduli, masyarakat hendaknya pro aktif melapor kepada presiden.
Di beberapa pelosok daerah, kondisi jembatan yang digunakan warga untuk menyeberangi sungai juga harus mendapat perhatian. Beberapa waktu lalu, pers melaporkan bahwa para pelajar yang pergi-pulang sekolah di beberapa pelosok daerah nyaris bertarung nyawa saat menyeberang sungai, karena jembatan yang digunakan sudah rusak parah. Sekali lagi, ketika aparatur daerah tidak peduli dengan situasi seperti itu, warga hendaknya tidak ragu untuk melapor kepada Presiden.
Inisiatif pusat memperbaiki jalan rusak di banyak daerah belum menyelesaikan semua persoalan. Masih ada catatan yang tetap harus digarisbawahi. Paling utama adalah perlunya terus menyoal profesionalitas Pemda dengan semua satuan kerjanya.
Orientasi Pemda harus fokus pada pengabdian membangun daerah dan masyarakatnya. Pembiaran jalan rusak sebagai infrastruktur dasar itu hanya menjadi bukti betapa banyak Pemda tidak profesional karena orientasinya tidak pada membangun daerah dan melayani masyarakatnya.
Rendahnya profesionalitas Pemda juga terlihat dari penggunaan sumber daya yang sudah tersedia. Saat Pemerintah pusat berkeputusan mengalokasikan anggaran Rp 32,7 triliun untuk perbaikan jalan rusak di banyak daerah tahun ini, ada ratusan triliun dana milik banyak Pemda yang masih mengendap di bank.
Pada akhir November 2022, Presiden sudah meminta Pemda segera merealisasikan anggaran belanja dan pendapatan daerah (APBD), mengingat saat itu masih ada Rp278 triliun dana Pemda mengendap di bank.
Kalau peduli, fokus mengabdi dan kreatif dalam berkebijakan, Pemda bisa saja menggunakan dana itu untuk memperbaiki kerusakan-kerusakan infrastruktur dasar di daerahnya. Kalau endapan dana di bank itu sudah ditetapkan peruntukannya, alasan ini bisa diterima, tetapi tetap saja dibutuhkan penjelasan. Misalnya, untuk apa saja peruntukannya? Kapan akan dieksekusi? Dan, apakah peruntukan itu masuk skala prioritas?
Kalau eksekusi belum ditetapkan dan peruntukannya tidak masuk skala prioritas daerah, bukanlah kebijakan haram untuk menggeser pemanfaatan dana-dana itu untuk merespons atau menyelesaikan masalah lain yang lebih urgen, seperti memperbaiki jalan kabupaten yang rusak parah.