Oleh Setia Naka Andrian
Penulis buku esai pendidikan, sastra, dan seni-budaya Remang-Remang Kontemplasi (2016) dan peraih Penghargaan Acarya Sastra 2017 dari Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kemendikbud.
TRIBUNNEWS.COM - “Berapa jumlah guru yang tersisa?” pertanyaan yang begitu akrab dari Kaisar Hirohito setelah luluh lantaknya Hirosima dan Nagasaki. Bukti betapa pendidikan menjadi pijakan utama bagi sebuah bangsa. Kaisar seakan mengesampingkan hal lainnya selepas kehancuran dua kotanya itu. Barangkali ia merasa sedikit lega ketika mendengar sekian ribu guru yang masih selamat. Setidaknya dengan begitu, ia masih bisa menaruh harapan besar untuk membangun bangsanya melalui sekian ribu guru itu.
Seperti halnya di Inggris dan Indonesia, peneliti pendidikan Ferary (2018:1—8) menyatakan bahwasanya keduanya sama-sama memiliki program wajib belajar. Undang-Undang Pendidikan (1996) di Inggris melimpahkan tanggung jawab pendidikan tidak hanya pada punggung pemerintah semata, akan tetapi juga pada orang tua atau wali untuk memastikan pemerolehan pendidikan bagi setiap anak berusia lima hingga enam belas tahun. Jika tidak mengikuti peraturan, orangtua atau wali akan dijatuhi sanksi penjara kurungan tiga bulan dan/atau denda £1000. Selanjutnya didapati Peraturan Pemerintah No. 47 (2008) di Indonesia yang menempatkan tanggung jawab kepada pemerintah/institusi pendidikan.
Inggris tentu melewati pertimbangan yang panjang, terlebih bagi masyarakatnya yang telah jauh sejahtera dibandingkan dengan masyarakat Indonesia. Lain ladang lain belalang, lain lubuk lain ikannya. Bahkan mengenai pendidikan vokasi (kejuruan) yang dijalankan di Inggris, perusahaan diberi kesempatan oleh pemerintah untuk turut aktif dalam upaya pengembangan kurikulum di sekolah.
Bisa dibayangkan, bagaimana penyusunan kurikulum pendidikan vokasi ditentukan pula dari segala sesuatu yang benar-benar dibutuhkan oleh perusahaan. Segenap proses yang dijalankan pun, tidak sebatas siswa diberi kesempatan untuk magang ke sebuah perusahaan atau tempat kerja semata. Akan tetapi, sejak awal dalam prosesnya para siswa telah dipersiapkan untuk menjalani proses yang sesuai dengan kebutuhan sebuah perusahaan atau tempat kerja tersebut.
Di Jawa Tengah, SMK N Jateng di Kota Semarang dan Kab. Pati sejak berdiri pada 2014 cukup menyita perhatian. Kemudian selepas dampak kebermanfaatannya dinilai baik, dilanjutkan pula pada 2017 dengan menambah SMK N Jateng di Kab. Purbalingga. Dengan tujuan mulia, SMK N Jateng berupaya turut serta mempersiapkan SDM berkualitas untuk menunjang generasi Indonesia emas.
Cukup santer terdengar hingga kini, betapa Indonesia pada tahun-tahun ini hingga 2030 akan mendapati limpahan penduduk produktif. Barang tentu, bonus demografi tersebut tidaklah bermuara menjadi berita baik semata. Akan tetapi, tentu akan menyisakan pula persoalan yang tidak sederhana bagi pemerintah. Tentu saja segala itu akan menuai dampak positif dan negatif. Barang tentu akan cukup membantu dan juga bisa akan mengganggu, jika gelontoran penduduk produktif itu tidak disambut, kemudian disiapkan sebaik-baiknya sejak dini melalui proses penempaan bagi mereka yang berusia duduk di bangku sekolah.
SMK N Jateng setidaknya berupaya hadir dan menjadi salah satu jawaban atas tantangan itu. Bagaimanapun halnya telah mampu menampung segenap siswa yang berasal dari keluarga kurang mampu, yang mungkin tidak sedikit pula didapati di antaranya yang terancam putus sekolah. Paling tidak, upaya pemerintah Jateng memberikan dorongan tersendiri bagi seluruh warga Jateng, khususnya dari keluarga kurang mampu tadi untuk turut serta mengambil bagian dan berupaya mempersiapkan diri sebagai generasi Indonesia emas pada masa-masa mendatang.
Dalam penyelenggaraan pendidikannya, di SMK N Jateng telah diterapkan sistem pengasuhan para siswa yang seluruhnya diasramakan. Keseluruhan biaya bagi para siswa pun ditanggung oleh Pemerintah Provinsi Jateng, yang meliputi biaya hidup dan biaya pendidikan. Sudah pasti, pemerintah Jateng mengambil sikap strategis dalam upaya pemenuhan pendidikan di daerahnya, terlebih bagi kalangan tidak mampu yang memungkinkan mengalami kendala dalam mengenyam pendidikan.
SMK N Jateng dalam desain penyelenggaraan pendidikannya sejalan dengan penerapan kurikulum yang sesuai dan ditetapkan oleh Kemendikbudristek. Kurikulum yang diarahkan sebagai pusat pendidikan dan pelatihan, pusat pengembangan sains dan teknologi, sekaligus sebagai tempat uji kompetensi, dengan target lulusan siap untuk memenuhi tuntutan dunia kerja maupun untuk studi lanjut, serta berupaya sepenuhnya menjawab tantangan gerak zaman.
Tentu selanjutnya siapa pun akan menaruh harapan, program pendidikan vokasi serupa SMK N Jateng dapat dijalankan secara nasional pula di berbagai daerah lain di seluruh Indonesia. Setidaknya, program bagi para siswa yang seluruhnya diasramakan itu menjadi laku positif untuk menyikapi berbagai persoalan kenakalan anak usia sekolah saat ini. Merekalah geng remaja yang ugal-ugalan di jalanan dan kian hari meresahkan masyarakat. Orang tua dan keluarga pun tidak sepenuhnya mampu mengendalikan mereka. Apalagi, didapati di antara mereka yang ternyata adalah remaja dari kalangan keluarga menengah ke bawah.
Juliawan dan Widodo (2023) dalam hasil penelitiannya di SMK N Jateng di Purbalingga, bahwasanya dalam pengembangan pendidikan berbasis asrama untuk siswa pendidikan kejuruan, perhatian tidak hanya difokuskan pada pembentukan karakter siswa, tetapi juga pada bagaimana prestasi belajar mereka dapat bersaing dengan siswa sekolah negeri maupun swasta. Selain itu, sebagai sekolah berbasis asrama, SMK N Jateng di Purbalingga memiliki keunggulan yang dapat dimanfaatkan untuk memberikan lulusan mereka karakter yang baik, yang kemudian menjadi nilai tambah saat mereka memasuki dunia kerja.
Keberhasilan dalam menerapkan strategi di SMK N Jateng bisa menjadi motivasi untuk menerapkan pendekatan serupa dalam mengembangkan program pendidikan berbasis asrama bagi siswa pendidikan kejuruan secara nasional.