Barangkali, Cak Imin bisa saja membela diri bahwa tidak ada maksud seperti yang disebutkan di atas. Namun, perlu dipahami bahwa bahasa sendiri tidak pernah menjadi “private game” sepenuhnya, karena pembicara tetap tunduk pada aturan-aturan bahasa yang disepakati secara sosial. Makna bahasa bukan lagi semata milik penuturnya, ketika bahasa tersebut sudah dilontarkan ke publik. Sebagai pendengar dan penerima, audiens juga memiliki hak untuk menafsirkannya.
Cak Imin juga bisa membela diri, ungkapan tersebut adalah sebuah candaan semata. Namun, publik juga bisa jadi akan bertanya-tanya. Apakah candaan itu terlontar di waktu yang tepat?
Apakah candaan tersebut tidak melukai perasaan pihak-pihak tertentu? Dalam konteks apa candaan tersebut disampaikan? Dan yang lebih mendasar adalah layakkah seorang publik figure- apalagi dalam posisi tengah menjadi pusat perhatian publik- menggunakan narasi tersebut?
Dalam pembelajaran public speaking, seorang trainer seringkali mengingatkan “THINK before speaking.” Ungkapan tersebut tidak sekedar bermakna “berpikirlah sebelum berbicara”. THINK merupakan singkatan true, helpful, inspiring, necessary, dan kind.
Para pembelajar di kelas public speaking selalu diminta memperhatikan hal tersebut agar setiap pembicaraannya tidak melukai pihak lain. Prinsip ini sesungguhnya mutlak diterapkan oleh para pemimpin agar setiap ucapannya membawa kedamaian bagi rakyat yang dipimpinnya.
Figur Penutur
Persoalan bahasa sepertinya bukan isu tunggal dalam konteks ini. Figur yang berbicara juga menjadi faktor penting yang bisa mengundang opini bahkan kontroversi. Jika bahasa tersebut keluar dari mulut rakyat biasa, barangkali publik tidak akan peduli, apalagi sakit hati.
Sangat disayangkan ketika bahasa tersebut harus terucap dari mulut seorang Cawapres yang bersama timnya sedang mengkampanyekan pentingnya pembangunan yang merata di semua wilayah, sehingga tidak terkonsentrasi di ibukota semata.
Hal tersebut tidak saja kontraproduktif dengan berbagai wacana yang dikampanyekannya ke publik. Kata-kata “lagi enak-enak di Jakarta” bahkan terkesan menarasikan gaya hidup hedonisme, enggan merasakan kehidupan di daerah yang masih terbelakang.
Sebagai sosok yang pernah menjabat menteri tenaga kerja dan transmigrasi, Cak Imin tentu tahu masih banyak saudara-saudara kita yang hidup di daerah yang belum tersentuh pembangunan. Jangankan mengungkapkan kata ‘enak’, kata ‘layak’ saja bisa jadi masih jauh dari angan.
Menjadi seorang pemimpin apalagi negarawan memang dibutuhkan kepekaan sosial. Pastinya Cak Imin lebih paham konsep ini dibanding rakyat biasa seperti saya. Saat ini adalah momen yang tepat untuk menunjukkan empati dan kepekaan sosial itu, meski terkadang sekedar jargon untuk merebut simpati rakyat.
Paling tidak, bahasa yang tidak bernada menjatuhkan itu menjadi first impression untuk menggiring opini publik tentang siapa dan bagaimana karakter seorang Muhaimin Iskandar.
Bagi masyarakat yang sensitif dan bahkan terlanjur diliputi kebahagiaan dengan wacana perpindahan IKN, narasi tersebut bisa jadi berujung kekecewaan yang akan berbuntut pada persoalan elektabilitas. Ini adalah harga mahal yang harus dibayar.
Oleh karena itu, perlu hati-hati memilih diksi dalam melakukan komunikasi publik. Mengusung konsep perubahan ke kondisi yang lebih baik ada gagasan menarik. Namun gagasan tersebut harus tetap disertai argumen bukan sentimen, agar menjadi gagasan yang simpatik di mata publik.
Mari kita membangun narasi yang menyejukkan hati, bukan narasi arogansi, ketika kita menyampaikan opini. Selamat berkontestasi dengan terus mengedepankan nurani, sehingga tidak ada pihak-pihak yang merasa terlukai.
*) Dari rakyat biasa di belantara Sangatta, Kutai Timur, Kalimantan Timur