Oleh: Zulfatun Mahmudah *)
TRIBUNNEWS.COM, - “Lagi enak-enak di Jakarta, disuruh pindah ke hutan”. Pernyataan yang meluncur dari calon wakil presiden koalisi perubahan, Muhaimin Iskandar itu dilontarkan terkait keengganannya pindah ke Ibu Kota Nusantara (IKN) baru yang hingga kini dinilai belum layak huni.
Pernyataan tersebut sontak mengundang berbagai opini publik.
Ini bukan sekedar persoalan pro atau kontra dengan wacana perpindahan ibukota. Ini juga bukan tentang siapa yang diuntungkan ataupun dirugikan dengan perpindahan tersebut. Ini adalah tentang pemilihan diksi dalam menyampaikan resistensi atas kebijakan pemerintah yang masih diwarnai berbagai kontroversi.
Menyeret pernyataan tersebut ke dalam diskusi politik, tentu saja menjadi isu yang sangat menarik.
Apalagi hal itu diungkapkan di tengah suhu politik yang tengah memanas jelang pemilihan presiden saat ini.
Namun demikian, sebagai rakyat biasa yang sehari-hari hanya sebagai pemirsa dan pembaca berita, membahas pernyataan itu secara politis sepertinya bukan kapasitas saya.
Oleh karena itu, tulisan ini hanya akan melihat pernyataan Cak Imin dari perspektif komunikasi publik.
Bahasa bukan “Private Game”
IKN yang hingga kini masih proses pembangunan dan belum tahu kapan akan selesai, memang tidak memiliki daya tarik. Setiap individu bahkan boleh-boleh saja menyatakan tidak bersedia pindah IKN baru yang memang belum siap untuk ditempati.
Namun demikian, dalam menyatakan ketidaksetujuan tersebut, tentunya ada gaya bicara yang lebih elegan dan terhormat. Sebuah bahasa yang layak diungkapkan oleh orang yang ‘dianggap’ bermartabat. Bukan bahasa bernada sinis apalagi menjatuhkan.
Ungkapan “lagi enak-enak di Jakarta, disuruh pindah ke hutan” merepresentasikan sebuah opini bahwa Jakarta jauh lebih enak ditempati dibanding Kalimantan Timur, yang notabene masih hutan. Tentu saja, titik persoalannya bukan terkait benar atau salah dalam berbahasa. Ini lebih terkait dengan sensitivitas seseorang dalam berbahasa. Kalimat tersebut jelas menarasikan perbandingan antar daerah yang sudah pasti berbeda, sebagai akibat pembangunan yang tidak merata.
Memang benar, pernyataan tersebut tidak menyebutkan kata Kalimantan Timur secara eksplisit. Namun, ketika kita menyebut IKN baru, secara otomatis hal itu akan terkait dengan Kalimantan Timur, karena IKN baru berada di wilayah ini.
Baca juga: Dukung Jokowi Soal Pemindahan IKN, Gus Yahya: Jangan Sampai Rusak karena Kepentingan Sesaat
Dengan bahasa tersebut, Cak Imin terlihat tidak memiliki kepekaan sosial terhadap rakyat yang selama ini hidup di daerah dengan segala keterbatasan yang ada. Selain itu, secara tidak langsung Cak Imin seolah mempertontonkan betapa enaknya hidup di kota besar yang semua fasilitas serba ada.