Dia ke Moskow membawa semangat konfrontasi internal Amerika yang mendalam menjelang Pilpres AS 2024.
Carlson mungkin secara pribadi penasaran mendengar banyak hal yang sebelumnya tidak diketahui tentang keadaan Rusia.
Tapi dia tidak bertujuan mempelajari atau memperluas wawasan. Wawancara Putin merupakan sebuah tantangan bagi pemerintahan di negara asalnya.
Tujuannya adalah untuk mendobrak narasi konvensional, yang didukung oleh media arus utama AS, sehingga ada alternatif yang bisa mengisi kekosongan tersebut.
Sebenarnya apa yang dibicarakan Vladimir Putin tidaklah penting. Efek wawancara Carlson akan lebih banyak berpengaruh di publik Amerika.
Apakah hal itu akan berdampak baik bagi Rusia atau tidak, masih bisa diperdebatkan. Keterlibatan apa pun dalam pertengkaran orang lain (konflik politik AS) dapat menimbulkan berbagai akibat.
Efeknya tidak selalu bisa diprediksi. Hanya semakin jelas, kepemimpinan Rusia tidak mempunyai niat atau ambisi untuk membentuk kembali Amerika.
Mungkin apa yang dijelaskan Putin akan mempengaruhi isu tertentu. Sebab, tidak mungkin Putin membujuk rekan-rekan resmi mereka di luar negeri agar sejalan.
Di sisi lain, tingginya animo atas wawancara Tucker Carlson yang bisa diihat di media dan media sosial, menunjukkan adanya kelemahan (di pihak AS) dan pihak lain pasti merasakannya.
Reaksi negatif kalangan profesional jurnalis di AS dan barat terhadap Tucker Carlson yang diterima Putin, semata mencerminkan kecemburan belaka.
Ekspresi itu ditampilkan jurnalis senior yang dikenal luas untuk liputan internasionalnya, Cristina Amanpour dari CNN.
Tetapi mereka lupa, jejaring media besar barat sadar atau tidak telah menjadi medium propaganda para penghasut perang, dan menjadi bias pandangan dalam konteks perang Rusia-Ukraina.
Dmitry Peskov sebagai juru bicara Vladimir Putin telah menjelaskan dalam perspektif Kremlin, Tucker Carlson bukan seorang pro-Rusia atau pro-Ukraina.
Carlson diterima Putin karena dianggap seorang yang berpandangan patriotik, pandangan yang sangat pro-Amerika.