Maxim seolah lenyap dan berganti identitas, hingga akhirnya ia ditemukan tewas di Spanyol. Pembunuhan Kuzminov diyakini dilakukan regu pembunuh intelijen Rusia.
Jejak keberadaan pengkhianat ini diduga dilacak dari lingkaran terdekat Kuzminov, terutama bekas pacar dan teman dekatnya.
Tempo singkat dari pembelotan hingga terbunuhnya Kuzminov ini menunjukkan efektifitas intelijen Rusia, beroperasi di dalam maupun di luar negeri.
Makna lain dari kebocoran rencana jahat perwira tinggi Jerman yang ingin menggempur Jembatan Krimea juga mempertontonkan hasrat dan agresifnya barat terhadap Rusia.
Ini menambah tumpukan bukti yang menunjukkan keterlibatan mendalam NATO dalam konflik Ukraina.
Pertanyaan yang muncul sekarang adalah seberapa tinggi dan provokatifnya perilaku aliansi transatlantik terhadap Rusia.
Ekaterina Blinova dari Sputniknews mengutip komentar tajam Earl Rasmussen, pensiunan Letkol dengan lebih dari 20 tahun di Angkatan Darat AS.
Menurut Rasmussen, barat semakin putus asa melihat perkembangan Ukraina.
Hal ini ditunjukkan luasnya diskusi, perencanaan, penggunaan potensi senjata jarak jauh, upaya untuk menghapuskan masalah, yang pada dasarnya menargetkan infrastruktur sipil.
“Semua orang tahu Krimea tidak akan pernah kembali ke Ukraina, apa pun negosiasi yang dilakukan,” kata Rasmussen menilai sikap dan posisi Rusia yang tak tergoyahkan terkait status wilayah Krimea.
Gagasan Presiden Prancis Emmanuel Macron, yang tak menutup kemungkinan pengiriman pasukan barat ke Ukraina, adalah petunjukan lain dari sikap agresif barat.
Jika rencana yang didiskusikan perwira Jerman itu dilaksanakan, maka hal itu akan menjadi sebuah tindakan perang, dan pernyataan perang oleh Jerman.
Hal sama dilakukan Jerman ketika saluran pipa Nord Stream diledakkan pasukan khusus AS lewat operasi rahasia.
Jerman membiarkannya begitu saja tindakan yang menyabot industri Jerman, dan Kanselir Olaf Scholz hanya berdiri diam di sisi Presiden Biden, seperti ia menyetujui Tindakan tersebut.
Menurut Rasmussen, dari mana rudal-rudal ini ditembakkan ke Jembatan Krimea, dan siapa yang berada di balik tombol tersebut merupakan rincian penting.
Sekali lagi, semua langkah barat mempertahankan perang di Ukraina sesungguhnya menjadi bukti NATO ada di pihak yang menyeret Rusia ke konflik langsung dengan NATO dan Eropa.
Menurut Rasmussen, keretakan di jajaran NATO semakin dalam karena militer Ukraina terus mundur, dan elite NATO kini dalam situasi sangat kritis dan putus asa.
Mungkin, dalam upaya menyatukan negara-negara anggota blok tersebut, kepemimpinan NATO sedang mencoba mengubah konflik yang sedang berlangsung menjadi konflik eksistensial.
Seharusnya tidak ada kekhawatiran Rusia akan menyerang NATO, namun mereka pasti berusaha menciptakan situasi tersebut.
Jadi jika mereka diserang NATO, maka Rusia akan melakukan serangan balik. Mereka menciptakan konflik ini menjadi ancaman nyata bagi NATO.
“Anda perhatikan pernyataan Macron minggu lalu, mereka punya perpecahan di dalam NATO, menurut saya, perpecahan yang sangat, sangat berat," kata Rasmussen.
Jika itu yang terjadi, maka itu adalah tindakan yang ceroboh, gegabah, berbahaya.
“Saya tidak tahu apakah ada uang yang terlibat, atau apakah ada tekanan dari AS. Itu tidak masuk akal. Masyarakat menentangnya,” lanjutnya.
Tiga perempat penduduk di Prancis menentangnya rencana agresif Macron. Di Jerman diduga angkanya sama, atau mungkin lebih banyak.
Mikael Valtersson, mantan perwira Angkatan Bersenjata Swedia berpendapat bukan kepentingan Rusia meningkatkan konflik dan mengambil risiko perang habis-habisan dengan barat.
Rusia sudah menang secara diplomatis dengan menunjukkan pengendalian diri. Pengakuan unit-unit rahasia militer NATO telah terlibat di Ukraina, adalah bukti lain yang menguatkan.
“Ini adalah bukti kuat keterlibatan langsung barat dalam perencanaan operasi militer Ukraina. Banyak yang sudah berasumsi demikian, namun kini ada buktinya,” kata Valtersson.
Pengungkapan ini memudahkan para pemimpin Rusia untuk menunjukkan konflik tersebut sebenarnya bukanlah konfrontasi Rusia-Ukraina, melainkan pertarungan barat dan Rusia.
“Ini membuat perbedaan besar bagi sebagian besar opini dunia jika konflik tersebut terjadi antara Rusia dan Ukraina atau antara Rusia dan barat,” kata purnawirawan perwira Swedia itu.
Banyak pihak yang secara otomatis memihak pihak yang lebih lemah dalam konflik.
Jika konflik tersebut dilihat sebagai perjuangan eksistensial Rusia melawan seluruh kekuatan barat, hal ini akan memperkuat dukungan terhadap Rusia di dunia.(Setya Krisna Sumarga/Editor Senior Tribun Network)