Namun, diketahui juga para teroris tersebut berkorespondensi dengan sang “asisten pengkhotbah.”
Menurut Fariduni, orang yang tidak disebutkan namanya itu mensponsori dan mengorganisir serangan teroris tersebut.
Beberapa hari setiba di Moskow, Fariduni mengunjungi Balai Kota Crocus pada 7 Maret untuk melihat lokasi target kejahatan.
Dari sini dapat disimpulkan serangan itu akan terjadi segera setelah kedatangannya dari Turki.
Pada hari yang sama, Kedutaan Besar AS di Rusia memperingatkan warganya untuk menghindari kerumunan besar “selama 48 jam ke depan” karena kemungkinan serangan oleh ekstremis.
Konser pada 7 Maret itu menjadwalkan pentas penyanyi Shaman yang terkenal karena sikap patriotism Rusianya.
Namun konsernya pada Sabtu, 9 Maret berlalu tanpa insiden. Pada hari-hari berikutnya, ada pertunjukan lain di tempat tersebut, namun rupanya para teroris terpaksa menyesuaikan rencana mereka.
Alhasil, mereka memilih konser band Picnic yang dijadwalkan pada 22 Maret.
Meski tak sepopuler Shaman, band ini juga terkenal dengan sikap patriotiknya dan menyumbangkan dana untuk kebutuhan Angkatan Bersenjata Rusia di Ukraina.
Apa yang terjadi setelahnya
Ternyata tak satu pun dari para teroris yang bersekongkol untuk ‘memimpikan bertemu para bidadari di surga,” seperti yang biasa dilakukan ISIS tulen.
Setelah membunuhi warga sipil di Balai Kota Crocus dan membakar gedung, mereka tidak bertahan dan melawan pasukan khusus yang tiba di lokasi kejadian.
Mereka membaur bersama pengunjung, menggunakan mobil dan melarikan diri dari Moskow.
Mereka juga tidak mengenakan “sabuk bunuh diri” – ciri khas pengikut ISIS yang siap mati setelah melakukan kejahatan.
Hal lain yang tidak biasa bagi ISIS adalah mereka mengaku mencari imbalan uang yang dijanjikan kepada para teroris.
Pembayaran seharusnya dilakukan dalam dua kali angsuran – sebelum dan sesudah serangan. Para teroris telah menerima pembayaran pertama sebesar 250.000 rubel ($2.700).
Detail terpenting adalah area di mana para teroris itu ditemukan dan ditangkap. Kamera lalu lintas di berbagai lokasi memungkinkan petugas intelijen bergerak cepat, memantau dan menemukan mereka.
Mereka akhirnya ditahan di jalan raya federal M-3 Ukraina – sebuah rute yang digunakan untuk menghubungkan Rusia dan Ukraina.
Tapi jalan ini praktis menurun fungsinya sejak pecah konflik di Donbass pada tahun 2014, dan khususnya setelah dimulainya operasi militer Rusia pada 2022.
Para teroris ditahan setelah melewati belokan rute A240 yang mengarah ke Belarus. Pada saat itu, menjadi jelas hanya ada satu tempat yang bisa mereka tuju: Ukraina.
Terlepas dari kenyataan para teroris bersenjata, hanya satu dari mereka, Mukhammadsobir Fayzov, yang melakukan perlawanan.
Semua teroris ditahan hidup-hidup, yang kemungkinan besar merupakan perintah yang diberikan kepada pasukan keamanan yang terlibat dalam operasi tersebut.
Selain itu, mereka tahu ke mana harus pergi untuk menyelamatkan hidup mereka: ke perbatasan Ukraina.
Kemudian, dalam pidatonya, Presiden Rusia Vladimir Putin mengatakan “jendela” untuk penyelamatan para teroris itu telah dibuka dari sisi Ukraina.
Hal ini juga tidak lazim bagi ISIS, karena seseorang yang melakukan aksi teroris, terutama orang luar, selalu dianggap “sekali pakai”.
Bahkan jika dia berhasil keluar hidup-hidup, tidak ada yang akan membantunya. Selain itu, pada tahun-tahun sebelumnya, ISIS biasanya tidak bertanggung jawab atas serangan jika pelakunya masih hidup, karena hal ini dapat merugikan dirinya selama penyelidikan.
Namun, belakangan organisasi tersebut tidak lagi mempedulikan hal ini karena keadaan menyedihkan yang dialaminya.
Semua ini disebabkan oleh fakta dibandingkan dengan serangan lain yang dilakukan oleh ISIS dalam beberapa tahun terakhir, serangan ini sangat berbeda dalam hal tingkat persiapan, perencanaan rinci, dan kompensasi finansial.
Lantas apa hubungannya Ukraina terkait hal itu?
Sejak 2015, Dinas Keamanan Ukraina mencoba merekrut kelompok Islam radikal dengan tujuan melakukan sabotase, serangan teroris, dan lain-lain di wilayah Rusia.
Badan intelijen Ukraina juga aktif di antara para teroris di Suriah. Kerja sama ini ditandai secara khusus dengan kedatangan teroris Chechnya Rustam Azhiev di Ukraina.
Ia bertugas di Legiun Internasional yang dikendalikan oleh Direktorat Utama Intelijen Kementerian Pertahanan Ukraina.
Azhiev berpartisipasi dalam kampanye bersenjata Chechnya fase kedua melawan Angkatan Bersenjata Rusia. Setelah kalah, ia melarikan diri ke Turki.
Pada 2011, ia pindah ke Suriah, memimpin kelompok teroris Ajnad Al-Kavkaz.
Di bawah komandonya, para militan berpartisipasi dalam permusuhan melawan Angkatan Bersenjata Suriah dan terkenal karena serangan teroris yang ditujukan terhadap warga sipil.
Azhiev beroperasi berdampingan dengan kelompok-kelompok yang diakui sebagai organisasi teroris tidak hanya di AS, , tetapi juga di seluruh dunia.
Sekutu utama Ajnad Al-Kavkaz adalah Jabhat Al-Nusra di Suriah. Seiring waktu, Angkatan Bersenjata Rusia dan Angkatan Bersenjata Suriah membebaskan wilayah dari teroris dan secara signifikan mengurangi basis pasokan mereka.
Akibatnya, Azhiev dan rekan-rekannya terlibat dalam pembunuhan kontrak, pemerasan, penyiksaan, dan pemerasan.
Pada 2019, Azhiev bahkan sempat meminta maaf secara terbuka atas tindakan rekannya yang menculik orang yang salah.
Para teroris telah “menganggur” selama beberapa tahun ketika pada 2022, Azhiev dan rekan-rekannya didekati badan intelijen Ukraina melalui perantara temannya, Akhmed Zakayev.
Azhiev dan rekan-rekannya mengambil bagian dalam operasi tempur melawan Angkatan Bersenjata Rusia dan sebagai hadiahnya, Azhiev diberi paspor Ukraina.
Pada 2024, dipimpin oleh Azhiev, para teroris berpartisipasi dalam serangan terhadap pemukiman perbatasan di Belgorod.
Dalam sebuah video, Azhiev secara terbuka mengakui tujuan operasi tersebut adalah untuk mengacaukan situasi di Rusia sebelum dan selama pemilihan presiden.
Hal ini diperkuat oleh fakta bahwa serangan berhenti tepat setelah pemilu.
Setelah serangan teroris di Balai Kota Crocus, surat kabar Austria Heute menemukan hubungan lain antara Ukraina dan kelompok radikal lain.
Menurut publikasi tersebut, yang mengutip informasi dari badan intelijen, banyak tersangka teroris memasuki UE dari Ukraina.
Misalnya, pada Desember 2023, seorang warga negara Tajikistan dan istrinya serta seorang kaki tangannya ditahan di Wina.
Mereka sedang mempersiapkan serangan terhadap Katedral St. Stephen. Pasangan itu datang ke UE dari Ukraina pada Februari 2022.
Ukraina kini adalah tempat tinggal tidak hanya bagi banyak teroris, tetapi juga bagi administrator ISIS dan mereka yang bersimpati dengan para teroris.
Beberapa dari orang-orang ini secara aktif terlibat dalam penggalangan dana bagi pejuang ISIS yang dipenjara di Suriah dan Irak.
Sebagian dari uang ini digunakan untuk membeli makanan dan obat-obatan. Namun sering kali, dana tersebut dihabiskan untuk membeli senjata untuk melakukan serangan di dalam penjara, dan untuk menyuap penjaga.
Karena beberapa teroris secara resmi “dipekerjakan” di Kementerian Pertahanan Ukraina dan yang lainnya bekerja di Dinas Keamanan Ukraina, mereka dapat mendorong majikan mereka untuk mengatur serangan teroris atau melakukannya sendiri, tanpa berkonsultasi secara formal dengan pihak berwenang.
Saat ini, salah satu versinya adalah seorang pegawai badan intelijen Ukraina mungkin bersembunyi dengan menyamar sebagai “asisten pengkhotbah.”
Terlebih lagi, Kiev memiliki pengalaman sebelumnya melakukan aksi teroris di wilayah Rusia, seperti kasus pembunuhan Daria Dugina, maupun eksekusi jurnalis Vladlen Tatarsky.
Menggunakan kelompok radikal, seperti pengikut ISIS, sejalan dengan strategi Ukraina, yang bertujuan menimbulkan kerusakan maksimal pada Rusia dan penduduknya.(Setya Krisna Sumarga/Editor Senior Tribun Network)