Oleh: Karyudi Sutajah Putra
TRIBUNNEWS.COM - Ramadan tiba. Engkau pun berseru, “Hai orang-orang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu, agar kamu bertakwa” (Al Baqarah: 183).
Namun yang terdengar di telinga batinku ternyata suara sayup-sayup yang meninabobokkan, sehingga justru membuatku terlena.
Aku pun tertidur. Aku pun terlelap. Pulas.
Lalu, begitu terjaga, aku bertanya-tanya dalam hati, apakah seruan-Mu itu untukku atau hanya untuk orang-orang beriman?
Sudahkah aku beriman? Sudahkah aku termasuk ke dalam golongan orang-orang beriman?
Ada enam rukun iman. Yakni, percaya kepada Allah, malaikat Allah, kitab-kitab Allah, rasul (utusan) Allah, hari kiamat, serta “qodho” dan “qodar”
“Qodho” berarti ketentuan Allah yang tidak dapat diubah, yang sudah ditetapkan sejak zaman “azali” (sebelum manusia dan alam semesta tercipta) di “lauh mahfuz” sana, dan “qodar” adalah ketentuan Allah yang masih bisa diubah manusia dengan doa dan ikhtiar.
Baca juga: Ramadan Milik Semua: Melewati Pemilu 2024, Menuju Indonesia Harmoni
Rukun iman terakhir inilah yang hingga kini belum benar-benar bisa aku pahami. Padahal, perintah untuk meyakini rukun iman keenam itu begitu jelas. Allah SWT berfirman dalam surat Al Qomar ayat (49) yang artinya, “Sungguh Kami menciptakan segala sesuatu menurut ukuran.”
Allah juga berfirman dalam surat Al Ahzab ayat (36) yang artinya, “Dan tidaklah pantas bagi laki-laki yang mukmin dan perempuan yang mukmin, apabila Allah dan rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada pilihan (yang lain) bagi mereka tentang urusan mereka. Dan barang siapa mendurhakai Allah dan rasul-Nya, maka sungguh dia telah tersesat dengan kesesatan yang nyata.”
Aku, misalnya, sering menggerutu ketika rencana-rencanaku berjalan tak semestinya. Aku pun gundah gulana ketika keinginan-keinginanku ada yang tak kesampaian. Padahal, apa yang baik menurut kita belum tentu baik menurut Allah.
Apa yang dari Allah itulah yang terbaik bagi kita, tergantung bagaimana kita menyikapinya. Sesungguhnya skenario Allah-lah yang terbaik bagi kita. Kita tinggal menjalaninya saja. Kita hanya seorang “wayang”, walaupun bisa saja kita juga seorang “dalang”. Akan tetapi, Allah-lah dalang dari segala dalang.
Kini, aku pun mulai mencoba kembali beriman. Atau setidak-tidaknya merasa beriman, sehingga termasuk yang diwajibkan Allah untuk berpuasa. Wajib artinya berpahala jika dikerjakan, dan berdosa bila ditinggalkan. Pahala ganjarannya surga. Dosa ganjarannya neraka.
Lalu, timbul pertanyaan di benakku, jika aku berpuasa, maka apa karena aku ingin masuk surga atau takut masuk neraka? Kalau itu yang terjadi, sudah benarkah puasaku?