Mengapa masih jauh dari kata ikhlas, tidak berharap dapat surga atau takut masuk neraka, atau apa pun, tapi semata-mata karena menjalankan perintah Allah? Bukan demi surga atau neraka, tapi demi Allah, lillahi taala?
Mengapa musabab puasaku karena ada “reward” (penghargaan) berupa surga, dan “punishment” (sanksi) berupa neraka?
Apakah itu memang tujuanku berpuasa? Lalu bagaimana dengan bertakwa yang merupakan tujuan sesungguhnya dari berpuasa?
Bertakwa berarti mengerjakan perintah-perintah Allah dan meninggalkan larangan-larangan Allah. Apakah bertakwa kepada Allah karena ada “reward and punishment”?
Apa pun itu, sebagai Muslim awam, aku tetap mencoba berpuasa. Mantapkan niat di dalam hati sejak malam hari. Esoknya di hari pertama Ramadan aku pun benar-benar berpuasa. Makan sahur dan minum secukupnya sebelum fajar tiba.
Akan tetapi di tengah hari bolong tiba-tiba aku jatuh sakit. Mula-mula masuk angin yang ditandai dengan mual-mual dan muntah-muntah. Disusul batuk-batuk. Disusul rasa ngilu di sekujur tubuh. Aku pun membatalkan puasa. Ke dokter. Minum obat. Tepar. “Bed rest”.
Sehari, dua hari, tiga hari, seminggu, bahkan dua minggu berlalu. Aku tanpa puasa. Lalu merasa mendingan dan mencoba kembali untuk berpuasa di hari ke-15. Dengan susah payah, di hari itu puasa sukses sampai kumandang azan maghrib.
Tibalah saatnya berbuka. Di meja terhidang teh manis panas dan martabak telur. Dengan lahapnya aku menyantap martabak telur beserta acar dan cabainya yang disajikan istri tercinta.
Keesokan harinya, aku kembali niat berpuasa. Makan sahur dan minum secukupnya. Akan tetapi sehabis makan sahur, perut rasanya sakit teramat sangat. Perih. Mulas. Diare pun melanda. Akhirnya puasaku batal lagi.
Keesokan harinya, di hari ke-17, aku mencoba berpuasa lagi, pantang menyerah. Pertanyaanya, di manakah separuh Ramadanku? Bagaimana bisa lebih dari dua minggu terlewat tanpa puasa? Terbangkah separuh Ramadanku?
“Urip Sakjeroning Mati”
Kini, Ramadanku tersisa 13 hari. Apakah puasaku akan lancar sampai kumandang takbir Idul Fitri nanti? Wallahu a’lam, hanya Allah yang tahu. Yang jelas, aku akan tetap mencoba untuk berpuasa. Semampuku. Kecuali Allah berkehendak lain. Jatuh sakit lagi, misalnya.
Padahal, kalaupun lancar, bisa jadi puasaku hanya menghasilkan lapar dan dahaga saja. Sebab, masih suka memendam amarah. Masih suka ber-ghibah. Masih suka suuzon. Termasuk suuzon (berprasangka buruk) kepada Allah.
Padahal, hakikat puasa adalah mengekang segala hawa nafsu, baik nafsu amarah, nafsu birahi, nafsu makan dan minum, maupun nafsu-nafsu lainnya. Lapar dan dahaga hanya sebagai penunjang saja. Supaya kondisi badan lemah. Kalau kondisi badan lemah, segala hawa nafsu lebih mudah dikendalikan.